Thursday, August 13, 2015

Kebijakan Strategis Fundamental Yang Belum Mampu Dilakukan Pemerintahan Jokowi

Pengamat ekonomi Yanuar Rizky menilai Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) belum banyak melakukan kebijakan strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional.  Hal serupa yang tidak mampu dilakukan dengan baik oleh pemerintahan sebelumnya, sehingga mewariskan masalah fundamental ekonomi yang lemah kepada pemerintah baru.

Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kata Yanuar, beruntung ketika berkuasa situasi ekonomi global tengah menguntungkan pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu indikatornya adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang cukup kuat di tengah gejolak ekonomi yang terjadi di Negeri Paman Sam.

Menurutnya, kondisi saat itu merupakan saat yang tepat untuk melakukan penguatan fundamental ekonomi dengan memperbaiki struktur ekonomi yang selama ini berbasis konsumsi. Perbaikan yang seharusnya dilakukan SBY adalah mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi barang-barang impor. "Ketika ekonomi sedang bagus, rupiah mengat dan dolar melemah, itu strategi siapa? Kalau memang itu strategi kita (Pemerintah Indonesia), seharusnya kesinambungannya terjaga. Tapi ini kan tidak," kata Yanuar .

Sialnya, lanjut Yanuar, Jokowi mengambil alih kekuasaan SBY ketika kondisi eksternal berbalik merugikan negara-negara berkembang seperti Indonesia.  Dalam kondisi seperti ini, Jokowi dengan semangat perubahannya justru menggunakan resep yang keliru, yakni langsung mencoba memperbaiki fundamental ekonomi di tengah risiko global yang seharusnya dimitigasi dahulu.

"Jadi sebenarnya sama saja, keduanya (SBY dan Jokowi) tidak melakukan apapun untuk memperbaiki struktur ekonomi," katanya. Warisan fundamental ekonomi yang lemah yang harus diterima Jokowi-JK juga dibenarkan Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.  Menurutnya ketika pada 2009 lalu, Bank Sentral AS mengambil kebijakan Quantitative Easingsecara besar-besaran dengan mencetak dolar dalam jumlah besar untuk menarik obligasinya, mata uang tersebut telah mengalir deras ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Akibat kebijakan tersebut, pasokan dolar di tanah air menjadi berlimpah dan menjadi sangat wajar nilai tukar dolar menjadi turun. “Rupiah terkesan membaik saat itu, termasuk mata uang bangsa lain yang membuat kepala-kepala negara berkembang senang,” kata Rhenald dikutip dari kajiannya.

Menyikapi kebijakan AS tersebut, menurut Rhenald sejumlah lembaga keuangan seperti Morgan Stanley bahkan sampai Bank Sentral AS sendiri telah mengingatkan bahwa negara-negara berkembang akan mengalami kesulitan dalam jangka menengah. Diantaranya Brazil, Afrika Selatan, Turki, Chile, sampai Indonesia.

“Hal itu sudah diumumkan, namun menjadi masalah karena sejak 2009 pemerintah tak membuat perencanaan apa-apa. Bahkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak dialihkan ke sektor produktif, infrastruktur tidak dibangun, penegakkan hukum terkesan diabaikan, pelabuhan tidak dibenahi. Akhirnya ketika saatnya tiba, Indonesia tidak siap,” jelasnya.

Kritikan para pengamat tersebut, tampaknya dipahami benar oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang baru Darmin Nasution. Di mata Darmin, selama 10 bulan Pemerintahan Jokowi-JK berjalan belum pernah membuat suatu kebijakan yang disusun berdasarkan data yang akurat.

"Saya perhatikan ada semacam kekurangan di akurasi data. Kalau kita lihat pemerintah ada membuat kebijakan tidak boleh impor, tahu-tahu beberapa waktu kemudian diperbolehkan lagi impor. Ini kebijakan seperti apa ini? Hal seperti ini menunjukkan gejala penggunaan data yang tidak akurat," kata Darmin, kemarin.

Menurutnya, dengan data yang akurat kebijakan yang disusun pemerintah akan lebih berkualitas dan memberi kepastian pada pasar.  "Kalian ikutin saja, kan kalau kebijakannya berubah-ubah mengenai sesuatu itu berarti ada (data) yang tidak akurat," kritiknya.  Untuk memperoleh data yang akurat, menurut mantan Gubernur Bank Indonesia bisa dilakukan dengan kalibrasi data atau upaya pengukuran tingkat kebenaran data yang ada.

"Kalibrasi data dulu sebelum dilakukan kesimpulan. Kalau belum apa-apa sudah disimpulkan dan ternyata keliru, ya akibatnya kebijakan yang diputuskan keliru," katanya.

No comments:

Post a Comment