Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) yang juga politisi PAN, Drajad Wibowo menilai, target pertumbuhan ekonomi 2016 yang dirancang pemerintah sebesar 5,5 persen kurang realistis. Target tersebut sulit dicapai mengingat depresiasi rupiah kemungkinan masih akan berlanjut di tengah ketidakpastian global.
“Pertumbuhan ekonomi akan tergantung keberhasilan menahan rupiah. Kalau bisa di bawah Rp 13 ribu (per dolar AS). Kalau terus merosot, akan berat," ujarnya. Kejatuhan rupiah, kata Drajad, membuat iklim usaha di dalam negeri memburuk. Hal ini secara otomatis berpengaruh terhadap kinerja ekonomi nasional. “Banyak sektor swasta yang terhambat ekspansinya karena rupiah, karena mereka harus bayar utang. Likuiditas yang harusnya untuk ekspansi menjadi tersedot,” jelasnya.
Kendati tidak bisa dihindari, kata Drajad, pelemahan kurs seharusnya bisa diredam oleh pemerintah agar kejatuhan rupiah tidak terlalu dalam. "Rupiah menjadi mata uang kedua terburuk di Asia setelah ringgit. Seharusnya depresiasi ini bisa ditahan,” katanya.
Apabila melihat kondisi ini, Drajad memperkirakan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh maksimal 5 persen, jauh di bawah ekspektasi pemerintah 5,5 persen. “5 persen atau mungkin lebih rendah,” ucapnya. Menurut Drajad, yang salah dari kebijakan ekonomi pemerintahan Jokowi adalah kurangnya realisasi. Padahal, Indonesia punya potensi sumber daya yang cukup besar untuk bisa dioptimalkan.
"Pemerintah terlalu banyak omong, namun kurang konsistensi dan implementasi,” tuturnya. Salah satu kebijakan yang dikritik Drajad antara lain rencana kenaikan sejumlah tarif pajak yang justru memicu pelarian investasi. “Kalau menguber-nguber pajak begitu, orang bisa lari. Harus liat timing” katanya
No comments:
Post a Comment