Wednesday, August 19, 2015

Indonesia Bisa Pilih Ikut Perang Mata Uang Atau Jadi Korban Seperti China

Perang mata uang sedang terjadi di dunia saat ini. Mau tidak mau, Indonesia akan terkena imbas dari perang kurs ini. Namun, di mana posisi Indonesia dalam perang mata uang ini? Sebagai partisipan atau hanya sebagai korban?

"Tidak. Mata uang kita sudah terlalu lemah. Kita negara kecil, emerging market, jadi posisi kita itu terbawa arus. Banyak hantaman dari AS, Eropa, China sehingga sistem finansial kita terpengaruh," ucap Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual ). Dia menyebutkan, Indonesia merupakan negara berkembang yang ekonominya akan sangat dipengaruhi kondisi perekonomian global terutama dari negara-negara maju. Ekonomi Indonesia hanya US$ 856 miliar atau 1,16% dari total PDB dunia yang mencapai US$ 74 triliun.

"Kita tidak menyiapkan antisipasinya. Pemerintah saat ini sulit bergerak. Kita harus siapkan agar punyabuffer (bantalan) yang kuat," tegas David. Seperti diketahui, saat ini banyak negara berlomba-lomba melemahkan mata uangnya. Hal ini sengaja dilakukan supaya daya saing ekspornya naik. Dunia tengah dalam tekanan perekonomian. Berbagai negara berlomba-lomba melemahkan mata uangnya. 

Bukan tanpa alasan, pelemahan mata uang ini sengaja dilakukan untuk meningkatkan daya saing ekspor. Dengan pelemahan mata uang, harga barang-barang ekspor negaranya menjadi murah. Negara yang baru-baru ini melakukan hal tersebut adalah China. Negeri tirai bambu tersebut mendevaluasi mata uangnya hingga lebih dari 3%. Kemarin, langkah serupa dilakukan Vietnam yang dengan sengaja melemahkan mata uang dong agar barang ekspornya bisa bersaing. Langkah seperti ini yang memicu perang mata uang alias kurs.

Lantas, apa sih perang kurs itu? Apa dampaknya bagi Indonesia? Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, perang kurs ini berawal dari krisis global di tahun 2007-2008 yang ditandai dengan jatuhnya Lehman Brothers, juga diikuti lembaga keuangan lainnya. Kebangkrutan itu membuat Amerika Serikat (AS) resesi. Negeri adidaya tersebut perlu melakukan solusi untuk tetap membuat perekonomiannya tumbuh dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga nol persen.

Tapi apalah daya, nyatanya perekonomian AS stagnan. AS kembali mencoba cara lain yaitu dengan menggelontorkan dolar AS ke pasar melalui cetak uang besar-besaran yang biasa dikenal dengan istilah Quantitative Easing (QE) "Saat itu likuiditas berlebih, dolar AS melemah dan itu mendongkrak ekspor AS," ujar David .

Hal yang sama juga dilakukan Jepang. Negeri sakura itu sengaja mencetak uang besar-besaran untuk melemahkan yen. Begitu juga dengan Eropa yang juga membuat kebijakan Quantitative Easing (QE) untuk menumbuhkan perekonomiannya. "Semua berlomba-lomba melemahkan mata uangnya," katanya.

David mengatakan, kondisi demikian itu, di mana semua negara berlomba-lomba melemahkan mata uangnya, hal itulah yang disebut perang mata uang. Kondisi di mana mata uang menjadi murah untuk meningkatkan daya saing ekspor. Hal yang terjadi saat ini juga sama. Mata uang China sudah terlalu kuat. Dari tahun 2005 hingga saat ini, apresiasi yuan sudah mencapai 33%. Ini membuat mata uang Yuan semakin mahal dan barang-barang ekspor China tidak bisa bersaing. Akibatnya, ekspor China di bulan Juli 2015, turun 8,3%.

AS tidak akan tinggal diam. Negeri Paman Sam tersebut juga akan mencari solusi agar barang ekspornya tetap bisa bersaing. Kemungkinan, kata David, AS akan menahan untuk menaikkan tingkat suku bunganya. Dengan tidak menaikkan suku bunganya, dolar AS bisa melemah. "Jadi semua saling berlomba dalam rangka mendapatkan mata uang yang lebih murah sehingga barang-barangnya laku di pasar global," terang David.

Selamat datang di era baru peperangan. Sekarang ini perang tidak lagi dilakukan dengan konflik fisik, tapi seiring perkembangan zaman peperangan bisa dilakukan dengan hanya duduk di depan monitor komputer. Caranya dengan mengutak-atik mata uang sebuah negara. Mata uang ini sengaja dilemahkan supaya produk negaranya lebih terjangkau dan bisa bersaing dengan negara lain. Ini biasa disebut perang mata uang.

Langkah bank sentral China, The People's Bank of China (PBoC), yang baru-baru ini sengaja melemahkan nilai tukar yuan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dianggap sebagai pemicu perang mata uang. Padahal, bisa dibilang China ini hanya ikut-ikutan saja. Ketika ekspornya mulai lesu, China menurunkan yuan supaya daya saing produk-produknya naik. Banyak negara yang dengan sengaja menurunkan nilai mata uangnya, jauh sebelum China melemahkan yuan. Contohnya, Jepang dan Vietnam.

"China tidak memulai perang mata uang yang sudah ramai sejak 2014 lalu, Jepang sudah memulainya beberapa tahun lalu. China ini hanya ikut-ikutan," kata Analis Pasar Uang dari Royal Bank of Canada seperti dikutip CNBC, Kamis (20/8/2015). Lalu mengapa China dianggap jadi pemicunya? Karena China adalah negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia. Ibaratnya kalau China bersin, seluruh dunia terkena flu

Apalagi, banyak pihak memprediksi langkah China ini dilakukan karena ekonominya bakal melambat sampai akhir tahun ini. Pemerintah China juga sudah mengeluarkan banyak stimulus, mulai dari memangkas suku bunga sampai menggenjot infrastruktur, tapi tetap saja ekonominya tumbuh lambat. Akhirnya, China memilih untuk melemahkan mata uangnya sehingga produk-produk yang akan diekspor lebih murah. Ini cara yang kasar tapi terbukti efektif.

Meski demikian, Analis PBoC, Ma Jun, membantah jika China melemahkan yuan untuk meramaikan perang mata uang. "China tidak ada niat untuk berpartisipasi dalam perang mata uang," kata Ma dalam keterangan tertulis.

No comments:

Post a Comment