Lima tahun yang lalu, mantan Dirut Pertamina, Ari Soemarno pernah menyampaikan sepotong data. Itu tentang shale gas, yang kalau sampai kongres Amerika Serikat memberi lampu hijau untuk dieksplore dan diekspor, maka harga gas dunia akan turun. Data itu rupanya segera direspons oleh para pemain saham yang mengakibatkan harga-harga saham perusahaan tambang batu bara kita anjlok. Mengapa demikian? Inilah gejala perubahan mendasar yang disebut 3S : "Sudden Shift, Speed dan Surprise!"
Daripada mereka-reka kapan dollar AS akan kembali turun, atau tenggelam dalam rasa takut yang besar bahwa PHK besar-besaran akan terjadi, lebih baik kita paham apa yang tengah terjadi, mengapa dan bagaimana meresponsnya. Gejala ini kita sebut sudden shift (tiba-tiba berpindah). Faktanya, konsumennya tetap di situ, populasinya tetap besar (8 miliar jiwa), semuanya butuh makan, minum, transportasi, gadget, hiburan, dan sebagainya. Tetapi siapa yang menikmati perpindahan itu?
Sudah begitu, berpindahnya mengejutkan karena seakan tiba-tiba (sudden) terutama bagi yang tidak mencermati dan terlalu asyik dengan dirinya sendiri dan lupa lingkungan, cepat sekali (speed) dan membuat kita terkaget-kaget (surprise). Mengapa? Karena kita mengabaikan, kita menyangkal, kita gemar berolok-olok, berpolitik, bersiasat, berpura-pura menyelamatkan (padahal menyesatkan). Kadang mengatasnamakan rakyat pula, menghiburnya, berpura-pura seakan-seakan masalahnya ada di tempat lain.
Kembali ke shale gas, Ari Soemarno memberi tahu bahwa cost-nya sangat rendah, demikian harga jualnya, yakni ¼ dari harga jual gas konvensional. Dapat dibayangkan begitu informasi itu beredar, maka para pemakai minyak (oil) pun akan beralih. Maka harga minyak pun akan goncang. Lalu pada akhirnya, tambang energi lain akan terganggu: batu bara.
Sesuai dengan duggan maka batu bara terkena imbasnya lebih dulu, lalu baru minyak. Maklum harga kertasnya (saham) sudah lama dijadikan bubble, lagi pula ia sangat merusak lingkungan. Sekarang harga minyak dunia baru turun sekitar 50-60 persen. Para ahli menduga ia masih akan turun hingga sekitar 10 dollar AS (saat ini masih sekitar 47dollar AS) per barel.
Bisa dibayangkan kerugian apa yang akan diderita pengusaha-pengusaha minyak, kalau mereka tak berani merevolusi biaya-biaya “kenikmatan” yang selama ini sudah dirasakan para pegawai agar kenikmatan para pemegang saham dan eksekutifnya tidak berkurang. Dulu, saat harga minyak di bawah 10 dollar AS per barel, mereka sanggup berproduksi dengan biaya 6 dollar AS per barel, tetapi begitu harga pasarnya 120 dollar AS per barel, mereka berproduksi dengan biaya 100 dollar AS per barel. Segala yang membuatnya mahal, akan membuat manusia meningkatkan biaya kenikmatan dan tentu saja harus juga diperhitungkan biaya inflasi yang terjadi karena target penjualan dan laba bersih setiap perusahaan dipaksakan naik dari tahun ke tahun untuk biaya kenikmatan dari pemegang saham.
Seperti kasus Zalora Indonesia. Anak-anak muda tentu lebih tahu apa itu Zalora. Ini situs belanja online yang sedang digemari konsumen muda. Dengan belanja online, selain mendapat barang-barang baru, anak-anak muda bisa mendapat harga yang lebih murah. Bagi mereka yang baru membaca data diketahui bahwa penjualan ritel Indonesia yang dilaporkan turun besar-besaran. Keadaan ekonomi pun kita persalahkan. Bahkan para politisi menduga adanya miss management dalam pemerintahan ataupun paranoid dengan adanya kartel.
Saat industri ritel konvensional melaporkan penurunan 3-4 persen, Zalora justru mengatakan omzet mereka naik 240 persen. “Dalam dunia online, kalau kami tumbuhnya di bawah 100 persen itu sama dengan kegagalan,” ujar mereka. Tetapi kembali ke tahun 1998 saat semua orang dicekam rasa takut akibat gelombang PHK. Asing pun hengkang. Ketika para ekonom di FE UI masih berpikir keras bagaimana menciptakan iklim yang kondusif agar investasi asing kembali lagi, mendorong lahirnya entrepreneur lokal adalah pilihan logis bila melihat data perputaran uang per sektor dan memasukan informasi sektor informal kedalam perhitungan analisa trend.
Para ekonom yang mengabaikan kemampuan bangsa ini berwirausaha. Saya bahkan ditanya, apa bisnis yang akan diekmbangkan wirausaha lokal? Saya sebutkan nama-nama produk mereka: kacang (Garuda dan Dua Kelinci), herbal (Sido Muncul), bola buatan masyarakat di Majalengka dan lain-lain. Di luar perkiraan saya, mereka mempertanyakan, “Sampai kapan kacang dan jamu bisa menciptakan lapangan kerja? Yang bisa itu otomotif. Rakyat kita itu pegawai, bukan entrepreneur.”
Anda tahu berapa jumlah wirausaha kita sekarang? Jangan lagi mengatakan masih di bawah 1 persen. Kalau mereka yang sudah terlibat dalam sektor informal saja sudah 60 juta orang, bisa hitung sendiri berapa banyak orang yang sudah bergulat dalam bidang kewirausahaan.
Demikian juga dengan Zalora dan mereka yang bergerak dalam sektor ekonomi kreatif lainnya. Sekarang memang masih kecil. Tetapi mereka memiliki daya disruptif yang bisa menggerus para pelaku usaha konvensional. Pergeseran konsumsi tak hanya terjadi dalam dunia energi dan belanja melainkan dalam konsumsi di segala bentuk kehidupan kita. Semuanya bergeser. Keseimbangan baru belum terbentuk, tetapi pindah-pindahnya mulai terasa.
Minggu lalu, 17 Agustus 2015, Indonesia-X baru saja meluncurkan situs belajar bebas biaya (massive online course) di mana Rumah Perubahan ikut di dalamnya. Pernahkah anda membayangkan bahwa kampus-kampus besar sedang berjuang melawan perubahan? Ya, di seluruh dunia, bukan cuma surat kabar berbasis kertas yang kesulitan karena hadirnya media-media online, melainkan juga kampus–kampus yang kini ditantang dunia belajar online.
Bahkan gelar akademis pun kini mulai ditinggalkan para kaum terpelajar dunia. Para pemberi kerja mulai melirik mereka–mereka yang tak bergelar. Dari "siapa kamu" ( atau "apa gelar akademismu"), dunia manajemen mulai beralih pada “apa yang bisa kamu lakukan”. Lihatlah di perusahaan- perusahaan besar, di kartu-kartu nama para pimpinan dan stafnya. Tak banyak lagi yang mencantumkan gelar akademisnya.
Gerakan masif ini membuat kaum muda beralih dari membelidegree (formal) kepada membeli keahlian dan paket–paket kursus, yang mereka ramu sendiri racikannya. Bukan lagi racikan akademik yang dibuat pemerintah karena mereka ingin membangun keahlian yang unik, yang tidak massal dan siap pakai. Dan pasar tenaga kerja global pun mengakomodir mereka. Apa yang bisa mereka berikan di dunia kerja bukan lagi rangkaian matakuliah racikan kampus.
Dan Indonesia-X menjadi pelopor belajar online yang heboh. Kelak Anda bisa mengambil kursus apa saja. Karena murah (gratis), switching cost nya menjadi rendah. Dan perubahan pun terjadi. Gojek, Uber, Seven Eleven, dan lain lain. Kalau anda belum puas dengan contoh–contoh di atas, maka pelajarilah segala fenomena di dunia transportasi, retail, telekomunikasi, trading, financing, dan sebagainya. Anda pasti akan menyaksikan gejala sudden shift ini.
Konsumen perbankan pun mulai meninggalkan kunjungan ke loket-loket bank. Mereka beralih ke mobile banking. Pemakaianvoice dalam berkomunikasi beralih ke cara-cara baru: data. Dari voice ke BBM, lalu pindah lagi ke Whatsapp dan social media. Sama halnya pertarungan sengit yang tengah dihadapi tukang-tukang ojek pangkalan vs Gojek dan Grab-Bike, atau taksi biasa Vs Uber. Semua mengalami gejala shifting.
Jadi, jangan melulu menyalahkan krisis ekonomi dunia. Karena krisis berdampak pada semua usaha dan kali ini terjadi luas di seluruh dunia. Yang jauh lebih penting bukan krisis itu sendiri. Bukan dollar AS, tetapi apa respons kita terhadap usaha yang kita jalani. Dan apa respons kita untuk mempersiapkan masa depan anak-anak kita dalam dunia yang benar-benar baru ini.
Kalau Anda diamkan, bukan krisis yang menghantam, tetapi persaingan baru melalui business model yang benar-benar berbeda. Lagi pula, krisis selalu menjadi alasan bagi kaum malas untuk berhenti bekerja, dan bagi mereka yang senang mencari kambing untuk menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dilakukannya.
No comments:
Post a Comment