Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyelesaikan pertemuannya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Rapat dilakukan sekitar 2,5 jam dan dihasilkan beberapa keputusan.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani mengatakan, rapat dilakukan untuk memberikan kejelasan terhadap hukum penggunaan BPJS Kesehatan yang selama ini dikabarkan haram. "Sebagaimana kita ketahui bersama, minggu lalu di media beredar berita-berita baik cetak maupun elektronik, banyak mengangkat isu-isu BPJS Kesehatan atas keluarnya ijtima ulama MUI seluruh Indonesia yang diselenggarakan di Tegal, isu yang beredar sangat luas sekali, bahkan ada kosa kata menyeramkan, ada kata-kata haram padahal tidak kita temukan di ijtima' kata-kata tersebut," jelas Firdaus saat konferensi pers di Gedung Merdeka, Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Dia menjelaskan, fatwa soal haramnya BPJS Kesehatan tersebut simpang-siur di khalayak luas. "Belum lagi banyak pihak berbicara yang kurang pas sehingga melebar. OJK tentu bersama-sama dengan pihak terkait membahas masalah ini agar bisa selesai. BPJS yang menyelenggarakan JKN sebuah program yang baik sekali dari pemerintah untuk masalah kesehatan," terang dia.
Dari pertemuan tersebut, Firdaus menyebutkan, terdapat beberapa keputusan. "Tadi kita cukup mendiskusikan, kita dengarkan dulu apa yang disampaikan MUI, ijtima' itu isinya apa, kita dengarkan semuanya, pihak BPJS Kesehatan juga kita menyampaikan pandangannya, DJSN, Kemenkes, Kemenkeu juga," ucap dia.
Dari hasil pembicaraan tersebut, berikut kesepakatannya: Pertemuan antara BPJS Kesehatan, MUI, pemerintah, OJK, DJSN sehubungan dengan ijtima' tentang penyelenggara BPJS Kesehatan, untuk klarifikasi sebagai berikut. Pertama, telah dicapai kesepahaman untuk pembahasan lebih lanjut ijtima' tentang penyelenggaraan BPJS Kesehatan, kami akan membentuk tim yang terdiri dari OJK, BPJS Kesehatan, DJSN, Kemenkeu, dan MUI.
"Saya sih target minggu ini bahas tim teknis, misalnya ada keinginan masyarakat yang ingin ada unsur syariah bisa direalisasikan," katanya. Kedua, rapat sepaham dalam keputusan fatwa rekomendasi tentang BPJS Kesehatan tidak ada kosakata haram. "Memang kita diminta untuk menyelesaikan prinsip syariah," ujar dia. Ketiga, masyarakat diminta tetap mendaftar dan melanjutkan kepesertaannya di BPJS Kesehatan dan selanjutnya perlu adanya penyempurnaan program kesehatan untuk memilih antara syariah dan tidak.
"Jadi tidak ada keragu-raguan, insya Allah cepat dalam hitungan hari bisa diselesaikan, tapi untuk menyempurnakan Peraturan Pemerintah (PP) butuh waktu, sambil nunggu waktu tetap tentunya masyarakat diminta yang belum mendaftar ya mendaftar, jadi yang sudah mendaftar tetap melanjutkan kepesertaannya jadi program pemerintah tetap berlanjut. Itu kesepakatan yang kita capai. Sudah ditandatangani ramai-ramai," pungkasnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggelar pertemuan dengan para direksi BPJS Kesehatan, pengurus majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Pertemuan ini membahas soal simpang-siur yang menyebutkan BPJS Kesehatan haram. Pertemuan ini juga membahas bagaimana penerapan BPJS Kesehatan dengan prinsip syariah. Berdasarkan pantauan rapat digelar mulai pukul 10.30 WIB di lantai 7 Gedung Menara Merdeka, Jl Budi Kemuliaan, Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Hadir antara lain, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Firdaus Djaelani, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris, dan Ketua DJSN Chazali H Situmorang. Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai program BPJS Kesehatan haram atau tidak sesuai dengan syariah. MUI menganggap secara umum program tersebut belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.
Namun, dalam kesempatan berbeda MUI menegaskan tak ada fatwa haram yang dikeluarkan. "Bukan fatwa haram, teksnya bukan haram. Ini ijtima komisi fatwa MUI keputusannya bukan BPJS haram, tapi BPJS yang sekarang berjalan tidak sesuai syariah," jelas Anggota Dewan Syariah Nasional MUI, Prof Jaih Mubarok.
No comments:
Post a Comment