Monday, August 10, 2015

Pedagang Sapi Tahan Barang Agar Harga Naik dan Untung Besar Saat Hari Raya Qurban

Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) mengakui salah satu pemicu gejolak harga daging di pasaran adalah strategi pedagang mengerem penjualan. Langkah ini bukan aksi penimbunan atau keserakanan untuk mencari untung, tetapi lebih pada strategi untuk menjaga kesinambungan usaha dengan memperoleh laba sebesar-besarnya hingga akhir tahun menyusul pasokan daging impor yang terbatas dengan cara memumpuk barang.

"Ini murni supply-demand. Apa yang mau dimainkan, tidak ada. Kondisi sekarang ini, pemerintah hanya mengeluarkan izin impor 50 ribu untuk kuartal III, makanya perlu ada replacement untuk menjaga kontinuitas bisnis sampai lima bulan ke depan," ujar Direktur Eksekutif Apfindo, Johny Liano. Johny menjelaskan rata-rata kebutuhan konsumsi daging sapi nasional berkisar 300 ribu ekor per bulan atau 3,6 juta ekor dalam setahun. Permintaan terbesar ada di tiga wilayah, yakni Jabodetabek, Banten dan Bandung, yang mencapai sekitar 60 persen dari total kebutuhan nasional.

Sementara itu, Johny mengatakan kemampuan peternak lokal untuk memenuhi kebutuhan tersebut hanya sekitar 1,4 juta ekor per tahun. Pernyataan Johny itu mengutip data Direktorat Jenderal Peternakan, Kementerian Pertanian. Untuk menutup selisih kurang itu, Kementerian Perdagangan hanya mengeluarkan izin impor masing-masing 250 ribu ekor sapi di kuartal I dan II tahun ini. Kuotanya dipangkas menjadi sebesar 50 ribu untuk periode Juli-September. Alhasil terjadi defisit pasokan sapi di pasaran yang otomatis berimbas pada melonjaknya harga jual.

Selain pasokan daging impor yang terbatas, Johny meyakini pasokan ternak lokal juga akan semakin langka pada bulan ini. Menurutnya, mayoritas peternak lokal sengaja tidak menjajakan hasil ternaknya hingga mendekati hari raya Qurban atau Lebaran Haji guna mendapatkan keuntungan lebih besar.

"Sapi jantan lokal sejak habis lebaran kemarin tidak keluar lagi karena (sengaja) ditahan oleh peternak dengan harapan saat Lebaran Haji bisa diual lebih mahal Rp 50-60 ribu per kilogram," katanya. Dia mengingatkan, dalam struktur bisnis perdagingan ada komponen tenaga kerja yang juga harus dipertimbangkan. Untuk itu, kesinambungan usaha harus dijaga guna menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK).

Johny menilai pemerintah harus realistis dalam merancang program swasembada pangan, terutama untuk daging sapi. Menurutnya, kebijakan itu mustahil untuk bisa direalisasikan dalam jangka pendek mengingat industri ternak dalam negeri belum sanggup untuk memenuhi kebutuhan yang tinggi setiap bulannya. "Solusi instan adalah dengan membuka keran impor. Dengan begitu, stok yang saat ini ada bisa kami keluarkan sekarang tidak harus dicicil dari kuota tiga bulan menjadi enam bulan. Karena kalau kami jual semua, maka di Oktober akan habis dan November-Desember kami tidak bisa jualan," tuturnya.

Johny Liano menambahkan, sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, sapi impor harus digemukkan dahulu selama tiga sampai empat bulan sebelum dipotong dan dijual. "Jadi jangan berpikir karena ada stok misalnya 500 ribu di kandang, itu bisa langsung dipotong. Tidak bisa. Sesuai undang-undang harus digemukkan dahulu hingga mencapai bobot tertentu," katanya.

Menurut Johny, volume daging potong siap jual dari setiap satu ekor sapi yang digemukkan hanya sekitar 32 persen. Harga jual daging berbeda-beda tergantung kualitas dari sapi yang diimpor atau diternak. "Harga sapi (belum dipotong) saat ini beragam, mulai dari Rp 42 ribu hingga Rp 44 ribu per kilogram. Tapi dari misalnya bobot sapi 450 kilogram, hanya 150 gram dagingnya (yang bisa dijual). Wajar jika harganya menjadi lebih mahal ketika sudah dipotong," tuturnya.

Importir menuding pemerintah sebagai biang keladi dibalik lonjakan harga daging dan aksi mogok mayoritas pedagang di Jawa Barat. Kegagalan swasembada pangan yang dibarengi dengan pemangkasan kuota impor disinyalir sebagai pemicu terjadinya kelangkaan pasok dan lonjakan harga daging di dalam negeri.

"Setiap ada masalah, importir yang disalahkan. Disebut kartel, menimbun, atau mafia. Itu yang kami tidak setuju," ujar Thomas Sembiring, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi).  Menurut Thomas, lonjakan harga daging saat ini murni karena masalah pasokan yang terbatas. Indikatornya bisa dilihat dari semakin terbatasnya pasokan ternak lokal dari sentra-sentra produksi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

"Ditambah lagi impor sapi dibatasi. Kuartal I dan II masing-masing 250 ribu ekor, sedangkan kuartal III, Juli sampai September, cuma 50 ribu ekor," tuturnya.  Sementara untuk impor daging secondary cuts dan jeroan, kata Thomas, sudah dilarang sejak Januari 2015. Padahal, lanjutnya, kedua jenis daging tersebut sangat tinggi permintaannya di saat lebaran dan puasa.

"Bayangkan saja kalau pasokan dari Jawa sudah terbatas, impor dibatasin, maka jangan heran kalau harganya melambung," jelasnya.  Tahun lalu, lanjut Thomas, pasar daging relatif stabil dan tidak bergejolak karena pemerintahan sebelumnya membebaskan impor daging. Sebelum itu, pasar daging bergejolak ketika pada 2011 kuota impor dipangkas 60 persen sebelum kebijakan itu dihentikan sampai 2013.

"Berdasarkan sensus BPS tahun 2013, populasi sapi kita turun 2 juta ekor sehingga pemerintah pada kuartal IV 2013 membebaskan kuota impor pada 2014," tuturnya.  Pembebasan impor daging 2014, kata Thomas, hampir berbarengan dengan mundurnya Suswono sebagai Menteri Pertanian era Susilo bambang Yudhoyono (SBY). Suswono melepaskan jabatannya karena menilai swasembada pangan telah gagal akibat salah perhitungan.

"Pemerintahan Jokowi 2015-2019 bikin target swasembada pangan yang tidak masuk akal. Enam bulan swasembada sapi, emang kita piara marmut yang empat bulan bisa dipotong. Ini sapi, butuh sekitar empat tahun untuk bisa dipotong," tuturnya.  Thomas Sembiring menambahkan, gejolak harga daging saat ini merupakan akibat dari akal-akalan pemerintah. Dia menduga target-target swasembada pangan sengaja didorong oleh pejabat dan kementerian tertentu untuk mencari manfaat dari alokasi dana pemerintah.

Dia mencontohkan program swasembada pangan periode 2010-2014 yang menghabiskan anggaran sekitar Rp 16 triliun. Dengan gejolak pangan yang masih terjadi, Thomas menilai program swasembada pangan yang selama ini menghabiskan belasan triliun rupiah telah gagal.  "Itu akal-akalan pemerintah. Kami tidak mau tahu, impor (daging) mau dilarang atau diperbolehkan. Tapi jangan kesalahan dari kebijakan itu dilemparkan ke importir. Itu namanya pemerintah tidak bertanggungjawab," tuturnya.

No comments:

Post a Comment