Usaha ini berlaba tinggi karena dapat diletakkan di daerah strategis (dapat menjual makanan lebih mahal) tanpa perlu bayar uang sewa tempat, cukup bayar sewa parkir saja. Mirip dengan usaha kaki lima tapi yang menjalankannya bukan lagi UKMK tapi pengusaha besar yang memiliki kemampuan besar. Penyerapan tenaga kerjanyapun murah karena menyerap tenaga informal yang murah.
Joko mengatakan, hambatan seperti perpecahan kongsi antar pemilik usaha hingga bahan baku yang sulit didapat karena kebijakan impor pemerintah kadang membuat pengusaha food truckmemutar otak untuk menangani masalah tersebut. Tak jarang, beberapa pengusaha tak kuat dan memutuskan untuk mengibarkan bendera di peta persaingan usaha food truck.
"Tak berlebihan rasanya jika kami bilang kalau pengusaha food truck ini harus memiliki mental kuat. Terlebih modal awal pembentukan perusahaan ini cukup besar dan size omzet memang tak bisa sebesar pengusahaan makanan lain ketika awal beroperasi,” jelasnya. Sebagai gambaran, Joko menyebut omzet food truck Tacombi yang dikelolanya bisa mencapai rata-rata Rp 5 juta per hari per kendaraan.
"Sebenarnya bisa saja kami membukukan Rp 12 juta dalam sehari, namun demi memenuhi hal itu harus bolak-balik ke pasar untuk suplai bahan baku. Sekitar 70 persen dari cost usaha kami beratnya di bahan bakar apalagi mobil yang kami miliki berjenis Combi dan boros bahan bakar. Dan mobil kami pun mobil tua, sehingga kalau dipaksa beroperasi dengan membawa suplai berat, maka akan cepat rusak," tuturnya.
Selain itu, masalah sumber daya manusia juga menjadi hal krusial dalam operasi usaha ini. Ia berujar, banyak anggota asosiasinya yang kekurangan pegawai pasca hari raya Idul Fitri dan menyebabkan beberapa usaha food truck tak mampu beroperasi. "Selain itu, kadang ada juga pegawai yang suka berbuat cheating karena kami terkadang menggunakan tenaga kerja yang putus sekolah. Masalah-masalah seperti ini yang kadang membuat pengusaha food truck tak tahan. Memang kalau ingin meneruskan usaha ini, perlu memiliki tekad yang kuat," jelas Joko.
Namun dengan arahan dari asosiasi, ia mengatakan bahwa pengusaha-pengusaha food truck sudah bisa menghadapi masalah yang dihadapi pada masa awal beroperasi. Bahkan, ia mengklaim kalau jumlah pengusaha food truck yang gulung tikar di awal-awal beroperasi sudah turun dibanding enam bulan lalu dan bisnis tersebut semakin memiliki prospek yang baik.
Sebagai bukti atas bisnis yang membaik itu, saat ini AFTI membawahi 35 usaha food truck dari total 70 usaha yang beroperasi di Jakarta. Jumlah usaha ini, dikatakannya, meningkat sebesar 100 persen dari jumlah 30-an usaha food truck yang terdata AFTI pada tahun lalu. "Pertumbuhan itu merupakan bukti bahwa bisnis food truck merupakan bisnis yang menjanjikan. Tak heran juga banyak pemain besar seperti Bakmi GM dan Chatime mulai merambah bisnis food truck. Mereka pun sempat meminta untuk diikutsertakan dalam AFTI, tapi kami tolak baik-baik karena mereka pemain besar sedangkan kami kan pemain kecil," ujarnya.
Ia berharap, masyarakat yang ingin masuk ke usaha food truck ini sudah paham akan risiko-risiko yang akan dihadapi dan tetap komitmen menjalankan usaha ini. "Selain itu, asosiasi pun juga siap membantu pengusaha food truck apabila menemui kendala," tegasnya. Pengusaha makanan yang dijual menggunakan kendaraan atau biasa disebut food truck, mengharapkan legalisasi izin usaha dari pemerintah agar bisa leluasa beroperasi dan tidak selalu berbenturan dengan penegak hukum.
Ketua Asosiasi Food Truck Indonesia (AFTI) Joko Waluyo menjelaskan selama ini pengusaha food truck telah mencoba untuk melegalisasi usaha, namun belum menemukan pihak pemerintah yang tepat untuk diajak berdiskusi mengenai hal ini. Dari beberapa instansi pemerintah yang coba diajak bicara olehnya, semuanya menganggap bahwa konsep food truck sama seperti kaki lima sehingga pembicaraan akan legalitas usaha tak pernah diindahkan.
"Di Indonesia, segala sesuatu dilihat agak aneh, segala sesuatu dipandang sebelah mata. Kami suka dibilang mirip Warung Tegal (warteg) dan pedagang kaki lima, padahal sebenarnya kami adalah pengusahaan makanan yang memiliki konsep," jelas Joko di Jakarta, Jumat (7/8). Lebih lanjut, Joko mengatakan bahwa di luar negeri konsep food truck memiliki izin usaha dan perlu mengantongi izin-izin lain dari instansi terkait. Ia mengatakan, usaha food truck setidaknya memerlukan izin dari Dinas Pemadam Kebakaran, Kementerian Kesehatan, dan juga Kepolisian Daerah terkait.
"Karena pengalaman saya ketika bekerja di Amerika Serikat, usaha food truck setidaknya harus mengantongi izin dari ketiga instansi tersebut. Kalau sudah ada izin-izin itu kami enak mengoperasikannya karena ada rambu-rambu tertentu. Misalnya peruntukkan mobil yang hanya untuk berusaha, kriteria mobil yang bisa digunakan untuk food truck, dan lainnya," tambahnya.
Ia juga menambahkan bahwa dengan memiliki izin usaha, maka otomatis usaha food truck juga memiliki kepastian beroperasi. Ia menceritakan bahwa usahanya sering berurusan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) akibat sering disalahartikan sebagai kaki lima. "Padahal, sebenarnya kami bayar sewa tempat di situ juga. Kadang dengan banyaknya kesulitan eksternal di usaha food truck, kami harus bisa berkompromi dan juga melakukan upaya persuasif secara efektif ke pihak-pihak yang sering bersinggungan," terang pemegang lisensi waralaba food truck Tacombi asal Amerika Serikat ini.
Dengan kondisi pemerintah yang terkesan memandang sebelah mata usaha food truck, ia mengatakan bahwa menunggu teguran pemerintah merupakan jalan terbaik agar pengusaha food truck bisa mendapatkan legalitas usaha. "Lebih baik saya yang ditegur duluan sama pemerintah karena melakukan usaha yang tak berizin. Sehabis ditegur kan biasanya mereka kasih tahu pihak-pihak mana yang perlu saya hubungi, jadi lebih gampang mekanismenya seperti itu," katanya.
Dengan prospek usaha yang makin berkembang setiap tahunnya, ia berharap pemerintah mau membuka jalan bagi pengusaha food truck untuk memperoleh izin usaha. "Apalagi usaha ini bisa menyerap tenaga kerja yang tak terdidik, sehingga kami harap mereka melihat kita sebagai solusi permasalahan sosial dan bukan dianggap sebagai benalu jalanan semata," jelas Joko
Jakarta dinilai sangat cocok dijadikan embrio pertumbuhan bisnis food truck di Indonesia. Gaya hidup warga ibu kota yang selalu ingin mencicipi sesuatu hal yang baru, membuat keberadaan truk penjaja makanan khas mancanegara bisa berkembang. Hal ini diakui oleh Griselda Valentina, pemilik Loco Mama, salah satu merek food truck yang menjajakan masakan ala Meksiko.
"Perkembangannya cukup cepat sejak pertama kali ada yang buka di akhir 2013. Data terakhir 2015 sudah ada 70 merek food truck di seluruh Indonesia, sementara di Jakarta saja ada sekitar 30-an,” kata Griselda, ditemui di acara Ideafest yang digelar di Jakarta, Jumat (7/8). Menurut Griselda, pesatnya pertumbuhan bisnis food truck tidak lepas dari gaya hidup masyarakat, khususnya di Jakarta. "Banyak orang kadang pesimistis bahwa industri ini hanya sesaat, tapi saya percaya kalau food truck industry ini bisa dijadikan lifestyle seperti di Amerika atau negara lainnya,” ujarnya.
Akan tetapi menurut Griselda, infrastruktur transportasi di ibu kota masih belum siap menerima serbuan food truck. Tingginya volume kendaraan di jalan raya yang berujung pada kemacetan total pada jam-jam tertentu, menghambat pergerakan food truck untuk menjemput bola dari satu tempat ke tempat lain. “Jalan untuk pejalan kaki saja masih kurang dan taman belum terlalu banyak. Padahal di negara-negara lain, bisnis ini banyak bergantung pada keberadaan taman,” jelasnya.
Ia juga membandingkan industri food truck di Indonesia dengan negara di Asia Tenggara lainnya yaitu Filipina yang pemerintahnya sudah melegalkan food truck dengan menyediakan titik-titik penjualan makanan yang dibuat di atas kendaraan.
Joko mengatakan, hambatan seperti perpecahan kongsi antar pemilik usaha hingga bahan baku yang sulit didapat karena kebijakan impor pemerintah kadang membuat pengusaha food truckmemutar otak untuk menangani masalah tersebut. Tak jarang, beberapa pengusaha tak kuat dan memutuskan untuk mengibarkan bendera di peta persaingan usaha food truck.
"Tak berlebihan rasanya jika kami bilang kalau pengusaha food truck ini harus memiliki mental kuat. Terlebih modal awal pembentukan perusahaan ini cukup besar dan size omzet memang tak bisa sebesar pengusahaan makanan lain ketika awal beroperasi,” jelasnya. Sebagai gambaran, Joko menyebut omzet food truck Tacombi yang dikelolanya bisa mencapai rata-rata Rp 5 juta per hari per kendaraan.
"Sebenarnya bisa saja kami membukukan Rp 12 juta dalam sehari, namun demi memenuhi hal itu harus bolak-balik ke pasar untuk suplai bahan baku. Sekitar 70 persen dari cost usaha kami beratnya di bahan bakar apalagi mobil yang kami miliki berjenis Combi dan boros bahan bakar. Dan mobil kami pun mobil tua, sehingga kalau dipaksa beroperasi dengan membawa suplai berat, maka akan cepat rusak," tuturnya.
Selain itu, masalah sumber daya manusia juga menjadi hal krusial dalam operasi usaha ini. Ia berujar, banyak anggota asosiasinya yang kekurangan pegawai pasca hari raya Idul Fitri dan menyebabkan beberapa usaha food truck tak mampu beroperasi. "Selain itu, kadang ada juga pegawai yang suka berbuat cheating karena kami terkadang menggunakan tenaga kerja yang putus sekolah. Masalah-masalah seperti ini yang kadang membuat pengusaha food truck tak tahan. Memang kalau ingin meneruskan usaha ini, perlu memiliki tekad yang kuat," jelas Joko.
Namun dengan arahan dari asosiasi, ia mengatakan bahwa pengusaha-pengusaha food truck sudah bisa menghadapi masalah yang dihadapi pada masa awal beroperasi. Bahkan, ia mengklaim kalau jumlah pengusaha food truck yang gulung tikar di awal-awal beroperasi sudah turun dibanding enam bulan lalu dan bisnis tersebut semakin memiliki prospek yang baik.
Sebagai bukti atas bisnis yang membaik itu, saat ini AFTI membawahi 35 usaha food truck dari total 70 usaha yang beroperasi di Jakarta. Jumlah usaha ini, dikatakannya, meningkat sebesar 100 persen dari jumlah 30-an usaha food truck yang terdata AFTI pada tahun lalu. "Pertumbuhan itu merupakan bukti bahwa bisnis food truck merupakan bisnis yang menjanjikan. Tak heran juga banyak pemain besar seperti Bakmi GM dan Chatime mulai merambah bisnis food truck. Mereka pun sempat meminta untuk diikutsertakan dalam AFTI, tapi kami tolak baik-baik karena mereka pemain besar sedangkan kami kan pemain kecil," ujarnya.
Ia berharap, masyarakat yang ingin masuk ke usaha food truck ini sudah paham akan risiko-risiko yang akan dihadapi dan tetap komitmen menjalankan usaha ini. "Selain itu, asosiasi pun juga siap membantu pengusaha food truck apabila menemui kendala," tegasnya. Pengusaha makanan yang dijual menggunakan kendaraan atau biasa disebut food truck, mengharapkan legalisasi izin usaha dari pemerintah agar bisa leluasa beroperasi dan tidak selalu berbenturan dengan penegak hukum.
Ketua Asosiasi Food Truck Indonesia (AFTI) Joko Waluyo menjelaskan selama ini pengusaha food truck telah mencoba untuk melegalisasi usaha, namun belum menemukan pihak pemerintah yang tepat untuk diajak berdiskusi mengenai hal ini. Dari beberapa instansi pemerintah yang coba diajak bicara olehnya, semuanya menganggap bahwa konsep food truck sama seperti kaki lima sehingga pembicaraan akan legalitas usaha tak pernah diindahkan.
"Di Indonesia, segala sesuatu dilihat agak aneh, segala sesuatu dipandang sebelah mata. Kami suka dibilang mirip Warung Tegal (warteg) dan pedagang kaki lima, padahal sebenarnya kami adalah pengusahaan makanan yang memiliki konsep," jelas Joko di Jakarta, Jumat (7/8). Lebih lanjut, Joko mengatakan bahwa di luar negeri konsep food truck memiliki izin usaha dan perlu mengantongi izin-izin lain dari instansi terkait. Ia mengatakan, usaha food truck setidaknya memerlukan izin dari Dinas Pemadam Kebakaran, Kementerian Kesehatan, dan juga Kepolisian Daerah terkait.
"Karena pengalaman saya ketika bekerja di Amerika Serikat, usaha food truck setidaknya harus mengantongi izin dari ketiga instansi tersebut. Kalau sudah ada izin-izin itu kami enak mengoperasikannya karena ada rambu-rambu tertentu. Misalnya peruntukkan mobil yang hanya untuk berusaha, kriteria mobil yang bisa digunakan untuk food truck, dan lainnya," tambahnya.
Ia juga menambahkan bahwa dengan memiliki izin usaha, maka otomatis usaha food truck juga memiliki kepastian beroperasi. Ia menceritakan bahwa usahanya sering berurusan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) akibat sering disalahartikan sebagai kaki lima. "Padahal, sebenarnya kami bayar sewa tempat di situ juga. Kadang dengan banyaknya kesulitan eksternal di usaha food truck, kami harus bisa berkompromi dan juga melakukan upaya persuasif secara efektif ke pihak-pihak yang sering bersinggungan," terang pemegang lisensi waralaba food truck Tacombi asal Amerika Serikat ini.
Dengan kondisi pemerintah yang terkesan memandang sebelah mata usaha food truck, ia mengatakan bahwa menunggu teguran pemerintah merupakan jalan terbaik agar pengusaha food truck bisa mendapatkan legalitas usaha. "Lebih baik saya yang ditegur duluan sama pemerintah karena melakukan usaha yang tak berizin. Sehabis ditegur kan biasanya mereka kasih tahu pihak-pihak mana yang perlu saya hubungi, jadi lebih gampang mekanismenya seperti itu," katanya.
Dengan prospek usaha yang makin berkembang setiap tahunnya, ia berharap pemerintah mau membuka jalan bagi pengusaha food truck untuk memperoleh izin usaha. "Apalagi usaha ini bisa menyerap tenaga kerja yang tak terdidik, sehingga kami harap mereka melihat kita sebagai solusi permasalahan sosial dan bukan dianggap sebagai benalu jalanan semata," jelas Joko
Jakarta dinilai sangat cocok dijadikan embrio pertumbuhan bisnis food truck di Indonesia. Gaya hidup warga ibu kota yang selalu ingin mencicipi sesuatu hal yang baru, membuat keberadaan truk penjaja makanan khas mancanegara bisa berkembang. Hal ini diakui oleh Griselda Valentina, pemilik Loco Mama, salah satu merek food truck yang menjajakan masakan ala Meksiko.
"Perkembangannya cukup cepat sejak pertama kali ada yang buka di akhir 2013. Data terakhir 2015 sudah ada 70 merek food truck di seluruh Indonesia, sementara di Jakarta saja ada sekitar 30-an,” kata Griselda, ditemui di acara Ideafest yang digelar di Jakarta, Jumat (7/8). Menurut Griselda, pesatnya pertumbuhan bisnis food truck tidak lepas dari gaya hidup masyarakat, khususnya di Jakarta. "Banyak orang kadang pesimistis bahwa industri ini hanya sesaat, tapi saya percaya kalau food truck industry ini bisa dijadikan lifestyle seperti di Amerika atau negara lainnya,” ujarnya.
Akan tetapi menurut Griselda, infrastruktur transportasi di ibu kota masih belum siap menerima serbuan food truck. Tingginya volume kendaraan di jalan raya yang berujung pada kemacetan total pada jam-jam tertentu, menghambat pergerakan food truck untuk menjemput bola dari satu tempat ke tempat lain. “Jalan untuk pejalan kaki saja masih kurang dan taman belum terlalu banyak. Padahal di negara-negara lain, bisnis ini banyak bergantung pada keberadaan taman,” jelasnya.
Ia juga membandingkan industri food truck di Indonesia dengan negara di Asia Tenggara lainnya yaitu Filipina yang pemerintahnya sudah melegalkan food truck dengan menyediakan titik-titik penjualan makanan yang dibuat di atas kendaraan.
No comments:
Post a Comment