Manajemen PT Pertamina (Persero) mengklaim penetapan harga jual gas minyak bumi cair (LPG) 12 kilogram (kg) yang kini telah berada di level keekonomian merupakan putusan yang tak menyalahi aturan. Ini mengingat jika mengacu Peraturan Menteri ESDM No 26 tahun 2009 tentang penyedian Liquefied Petroleum Gas (LPG), gas bertabung biru ini bukanlah produk subsidi atau public service obligation (PSO).
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro menjelaskan, adanya penetapan harga jual yang kini sudah berpedoman pada harga LPG CP Aramco, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, serta kesinambungan penyediaan dan pendistribusian itu dilakukan demi mendapatkan laba lantaran dalam beberapa tahun sebelumnya perusahaan mengaku rugi hingga Rp 4,3 triliun per tahun pada 2014.
Dengan formula pembentukan harga tadi, Wianda pun meyakini mampu mengundang hadirnya kompetitor yang bisa menciptakan bisnis LPG lebih sehat di masa mendatang. "Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan untuk menjaga kondusifnya suasana menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, pasca penyesuaian harga ELPIJI 12kg per 1 April 2015 Pertamina berusaha untuk menjaga kestabilan harga, atau semaksimal mungkin tetap yang diharapkan tidak memberikan kontribusi inflasi tambahan," ujarnya di Jakarta, Jumat (21/8).
Asal tahu, adanya penjelasan mengenai formula dan motif dibalik penetapan harga jual tadi merupakan jawaban Pertamina atas tudingan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menuding perusaahan migas pelat merah ini telah melakukan markup atas penjualan LPG 12 kg yang diprediksi mencapai Rp 19.565 per tabung.
Tudingan ini diutarakan karena Pertamina telah menjual LPG 12 kg di atas harga pasar sehingga merugikan masyarakat rata-rata sebesar Rp 1.630 per kg atau Rp 19.565 per tabung. Dengan asumsi rata-rata konsumsi LPG 12 kg per bulan sebesar 75 ribu metrik ton (MT), ICW menghitung potensi keuntungan total Pertamina pada tahun ini akan mencapai Rp 978,3 miliar hanya dari menjual LPG 12 kg di atas harga keekonomian.
"Pertamina tidak boleh mendapatkan keuntungan yang tidak wajar dengan ketidaktransparanan penetapan harga elpiji," ujar Koordinator Divisi Riset ICW, Firdaus Ilyas, Kamis (20/8). Dari informasi yang dikumpulkan, sejak Januari hingga Agustus Pertamina telah empat kali melakukan perubahan terhadap harga jual LPG 12 kg. Pertama, Pertamina menetapkan harga jual Rp 134.700 per kg pada 1 Januari hingga 18 Januari. Lalu perubahan kedua terjadi para 19 Januari hingga 28 Februari, ketika harganya turun menjadi Rp 129.000 per tabung.
Kemudian sepanjang Maret, harga LPG kembali naik menyentuh harga Rp134.000 per tabung dan terus melonjak hingga Rp 142.000 per tabung sejak April hingga saat ini. Kendati LPG 12 kg bukan produk yang disubsidi pemerintah, Firdaus mengkhawatirkan lonjakan harga LPG 12 kg mampu menyumbang inflasi bagi perekonomian. Terlebih, Pertamina merupakan pemegang pangsa pasar terbesar dalam penjualan LPG di Indonesia.
"Kurang lebih, anda bayangkan rumah kita sebulan menggunakan LPG sebanyak dua kali. Atau industri kecil, maka dampak inflasi akan lebih besar di sektor real. Apakah ini dipahami atau tidak oleh Pertamina," ujarnya. Menjawab tudingan ini, Wianda meyakini dengan penetapan harga yang telah berada di tingkat keekonomian mampu mengundang hadirnya kompetitor dan bisa memperbaiki iklim bisnis LPG. "Dengan penyesuaian harga yang telah mencapai keekonomian sebenarnya justru dapat menjadi daya tarik bagi hadirnya kompetitor yang dapat menciptakan bisnis LPG lebih sehat di masa mendatang," tegas Wianda.
Dari catatan Pertamina, pasaran harga LPG non subsidi 12 Kg selain Pertamina dijual Rp 104.500 per tabung 5,5 kg di level distributor atau setara dengan Rp 19.000 per kg. Sementara harga jual LPG 12 kg Pertamina dibanderol dengan rata-rata Rp 142 ribu per tabung di level Agen, atau setara dengan Rp 11.833 per kg.
No comments:
Post a Comment