Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mempertanyakan dasar dari pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, terkait perbedaan penarikan tarif pada struktur cukai rokok saat ini. Berdasarkan ketentuan, saat ini terdapat 12 besaran tarif cukai (layer) yang ditentukan berdasarkan tipe rokok (Sigaret Kretek Mesin/SKM, Sigaret Putih Mesih/ SPM, Sigaret Kretek Tangan/SKT), klasifikasi usaha berdasarkan jumlah produksi, dan harga jual eceran (HJE) minimum.
“Sampai hari ini kami tidak mendapatkan justifikasi apa yang mendasari perbedaan cukai antar layer ini,” kata Direktur Indef Enny Sri Hartati dalam Workshop Tembakau dalam Kendali Cukai di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Senin (12/10). Enny mencontohkan tarif cukai untuk produksi rokok yang mencapai lebih dari dua miliar batang per tahun lebih tinggi dibandingkan dari rokok yang diproduksi kurang dari dua miliar per tahun untuk mengakomodasi kepentingan industri kecil dan industri besar.
“Tetapi kalau seperti ini saja, apakah, misalnya, yang katakanlah produksi 1,99 miliar (batang), itu kan di bawah 2 miliar (batang), itu apa ya (industri) kecil?” katanya. Selain itu, perlu ada regulasi dan penegakan hukum (law enforcement) yang tegas dari pemerintah. Dalam hal ini, tidak boleh dibentuk anak perusahaan (sister company) baru untuk memproduksi merek dagang rokok berbeda.
“Kalau ini yang produksi lebih dari dua miliar batang tinggi cukainya tetapi dengan mudahnya industri-industri rokok bikin sister company, rusak lagi juga, target untuk membatasi produksi juga tidak akan tercapai,” ujarnya. Selanjutnya, persoalan juga merebak pada HJE rokok yang dibedakan berdasarkan golongan A dan B (mahal/murah). “Apakah rokok yang dijual mahal atau murah dampak kesehatannya berbeda?” tanyanya.
Menurutnya, perlu reformulasi struktur cukai baru dengan mempertimbangkan kepentingan pengendalian konsumsi tanpa mematikan industri. Salah satu variabel yang bisa dimasukan adalah tingkat kandungan lokal yang bisa mengakomodir kepentingan petani lokal. “Kalau rokok ini kandungan lokalnya lebih tinggi maka misalnya ada perbedaan tarif. Jadi tujuannya jelas. Ada kompensasinya,” ujarnya.
Lebih lanjut, formulasi tarif cukai rokok juga sebaiknya mempertimbangkan angka penyerapan tenaga kerja. Hal ini bisa menjadi kompensasi atas kontribusi produksi rokok, khususnya SKT, dalam penyerapan tenaga kerja di Tanah Air. "Mengapa dalam perbedaan tarif ini juga tidak menggunakan basisnya adalah tenaga kerja? Katakanlah, misalnya, untuk golongan satu kalau industri menyerap sekian tenaga kerja, tarif dua per sekian tenaga kerja," ujarnya.
Aksi pemerintah menaikkan tarif cukai rokok mendapat kritikan dari industri. Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) menilai kenaikan tarif cukai rokok bisa semakin menyuburkan peredaran rokok ilegal di Tanah Air. Sekretaris Jenderal Gaprindo Hasan Aoni Aziz menyebutkan berdasarkan Survey Rokok Ilegal Universitas Gadjah Mada (UGM), pada tahun 2014, 11,7 persen dari 344 miliar batang rokok yang beredar di pasaran merupakan rokok ilegal.
“Pada posisi harga melebihi harga keekonomian masyarakat untuk membeli,yang kedua, di tengah perlambatan ekonomi yang pengaruhnya bukan dari Indonesia tapi dari luar negeri, maka ada enam hal yang kondisinya bisa potensial untuk rokok ilegal bisa berkembang di Indonesia,“ katanya dalam Workshop Tembakau dalam Kendali Cukai di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Senin (12/10).
Faktor pertama adalah banyaknya jumlah penduduk Tanah Air yang mencapai lebih dari 250 juta penduduk. Hal itu menjadikan Indonesia sebagai pasar yang besar. Kedua, tingkat kesejahteraan masyarakat juga cenderung stabil. Selanjutnya, keterampilan membuat rokok sudah tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
“Akses kita terhadap bahan baku juga lebih besar dibandingkan negara lain,” kata Hasan. Berikutnya, pengawasan terhadap peredaran barang ilegal juga sulit mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. Hal itu juga diperparah dengan rasio tenaga pengamanan dan pengawasan barang-barang ilegal, menurut Hasan, tidak ideal dengan jumlah penduduk dan luas wilayah.
“Buat industri rokok, hal ini menjadi tantangan karena kami menjual yang legalnya menjadi dipersaingkan dengan barang ilegal. Bukan sekedar negara yang dirugikan tetapi kami industri juga dirugikan,” ujarnya. Sebagai informasi, pemerintah telah menetapkan target pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 sebesar Rp 142,7 triliun atau naik 2,58 persen dari target penerimaan cukai rokok dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 139,81 triliun.
Pengamat menilai kenaikan harga dan tarif cukai rokok tidak akan mematikan industri rokok. Pasalnya, karakteristik produk rokok dinilai inelastis dan kenaikan harga jual rokok tidak akan berdampak signifikan pada penurunan konsumsi rokok. “Kalau yang sudah merokok, harga dinaikkan dua kali lipat juga tetap saja beli,” kata Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia (UI) Hasbullah Thabrany, dalam Workshop Tembakau dalam Kendali Cukai di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Senin (12/10).
Hasbullah mengambil contoh di Thailand konsumsi rokok tetap naik kendati sudah menaikkan porsi cukainya. Pada tahun 1991 porsi cukai dari harga jual rokok mencapai 55 persen dengan total konsumsi mencapai 1,9 miliar bungkus. “Ketika cukai rokok Thailand dinaikkan pada tahun 2013 menjadi 83 persen salesnya hampir 2,2 miliar bungkus. Kenapa naik? Karena dalam teori ekonomi ini ada demand inelastis,” ujarnya.
Bahkan, Hasbullah menduga ada kecenderungan rokok memiliki karakteristik barang mewah di mana pembeli akan semakin tertarik untuk membeli ketika harganya semakin mahal. “Jangan-jangan industri kecil (rokok) yang bangkrut karena produknya tidak mahal, jadi harganya mesti dinaikin supaya orang bangga merokok produk yang mahal. Tapi ini perlu dikaji lagi,” katanya. Selain itu, Hasbullah memaparkan, berdasarkan pengalaman negara lain, kenaikan harga maupun tarif cukai rokok bisa menangkal perokok muda, menaikkan pendapatan negara, sekaligus industri juga tetap bisa berjalan.
“Kalau cukainya dinaikkan, mereka (perokok muda) tidak beli. Karena mahal harganya, mereka tidak mampu beli. Industri juga dapat untung, pemerintah juga dapat duit, untung,” ujarnya. Dalam simulasinya, kenaikan harga 20 persen sebungkus rokok isi dua belas batang dari Rp 12 ribu menjadi Rp 14.400 bisa menaikkan nilai total penjualan rokok dari Rp 340 triliun per tahun menjadi Rp 379,4 triliun meskipun konsumsinya terjadi penurunan dari 28,3 miliar bungkus per tahun menjadi 26, 4 miliar per tahun.
Dengan asumsi porsi penerimaan cukai tetap sebesar 57 persen, maka pemerintah bisa meraup kenaikan penerimaan cukai dari Rp 193,8 triliun menjadi Rp 216,3 triliun. Menurut Hasbullah, idealnya tarif cukai rokok adalah dua kali lipat dari rata-rata inflasi. Dengan demikian penurunan konsumsi rokok baru bisa signifikan terjadi. “Sekarang rata-rata cukai rokok 11,7 persen (dari harga jual eceran) tapi belum dua kali lipat inflasi yang rata-rata masih tujuh persen. Penjualan Gudang Garam masih naik 14 persen, dua kali lipat dari inflasi, penjualan Sampoerna juga masih naik 17 persen per tahun,” ujarnya.
Sebagai informasi, pemerintah telah menetapkan target pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 sebesar Rp 142,7 triliun atau naik 2,58 persen dari target penerimaan cukai rokok dalam APBN-P 2015 sebesar Rp 139,81 triliun.
No comments:
Post a Comment