Kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas 17.000 pulau yang terpisah lautan memang sebuah anugerah. Namun, besarnya ukuran negara ini seharusnya menjadi pengingat bahwa biaya untuk mempersatukan itu mahal.
Biaya itu, antara lain, muncul dalam bentuk ongkos logistik yang tinggi. Di Jepang, ongkos logistik hanya 5,9 persen terhadap penjualan atau 10,6 persen atas produk domestik bruto (PDB). Di Indonesia mencapai 20-30 persen atas PDB.
Secara kasat mata, sering terjadi kelangkaan stok dan fluktuasi harga kebutuhan pokok, terutama pada hari-hari besar nasional. Disparitas harga di daerah perbatasan, daerah terpencil, dan terluar tinggi. Tingkat penyediaan infrastruktur rendah, plus munculnya pungutan tidak resmi.
Kondisi itulah yang menyebabkan laju inflasi di Indonesia akan lebih tinggi dibandingkan negara-negara terdekat, meskipun perekonomian dunia sedang normal. Inflasi bukan hal sepele karena dampaknya melebar ke mana-mana, antara lain menekan daya beli masyarakat termiskin dan cenderung memperlemah nilai tukar setidaknya dalam hitungan dua tahun.
Kementerian Keuangan melansir laju inflasi tahunan per Februari 2011 sekitar 6,84 persen. Ini adalah inflasi tahunan terendah dalam empat bulan ini. Yang perlu dilihat adalah ekspektasi inflasi ke depan. Perkiraan inflasi akan terus tinggi mulai menghantui pasar obligasi. Ini penting karena tahun ini, pemerintah harus menerbitkan obligasi negara sebesar Rp 200,654 triliun.
PIMCO, lembaga keuangan pengelola dana terkemuka, pemilik portofolio obligasi dana 260 miliar dollar AS (terbesar di dunia) dan salah satu pembeli obligasi negara Indonesia, mulai mewaspadai inflasi global. PIMCO sudah wanti-wanti untuk tidak menempatkan dana pada obligasi jangka panjang, dan memilih pada obligasi jangka pendek (di bawah lima tahun).
Ini sinyal bagi Indonesia akan munculnya kesulitan yang bersumber dari luar. Kesulitan dalam bentuk inflasi global tidak hanya akan menimbulkan imported inflation (inflasi akibat kenaikan harga barang yang diimpor), tetapi semakin sulitnya mencari sumber dana murah berjangka panjang.
Pelaku pasar sudah memaklumi bahwa inflasi yang meninggi akan menekan harga obligasi karena bank sentral akan cenderung menaikkan bunga saat inflasi tinggi. Akibatnya, likuiditas lebih masuk ke sistem perbankan. Investasi surat utang akan ditinggalkan sehingga memicu penurunan harganya.
Maka, pemerintah yang ingin menerbitkan obligasi harus menawarkan kupon yang tinggi agar menarik minat pemilik dana. Kenaikan kupon ini dengan sendirinya meningkatkan imbal hasil obligasi tersebut. Ongkos semakin mahal.
Filipina, misalnya, menerbitkan obligasi global dalam dollar AS pada 22 Maret 2011. Obligasi berdurasi 15 tahun (tahun 2026) ini diserap pasar sebesar 1,5 miliar dollar AS. Inflasi global membuat harga obligasi ini yang dilepas dengan diskon 99,495 persen dan kupon 5,5 persen. Imbal hasil yang ditanggung Pemerintah Filipina adalah 5,55 persen, selisih tipis dibanding penetapan harga awal pada posisi 5,26 persen.
Bisa jadi, ekspektasi inflasi yang tinggi ini menjadi salah satu faktor mengapa Kementerian Keuangan RI menahan diri menerbitkan obligasi global pada minggu ketiga Maret 2011. Padahal, jadwal ini sudah lebih mundur jika dibandingkan penerbitan obligasi global pada Februari 2010. Perlu diingat, pemerintah masih menerapkan strategi front loading atau memajukan sebagian besar penerbitan obligasi ke awal tahun.
Beberapa bulan lalu, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta beberapa BUMN pernah menandatangani nota kesepahaman (MOU). Kekuatan BUMN mau dihimpun sebagai faktor penolong pemerintah saat terjadi krisis. BUMN pilihan itu akan diminta menghimpun dana untuk membeli surat utang negara pada saat harganya jatuh.
Cara itu diharapkan mendongkrak lagi harga obligasi negara sehingga ongkos penerbitan yang ditanggung pemerintah bisa ditekan. Namun, sudah seberapa siapkah BUMN kita?
Ongkos penerbitan obligasi negara memang perlu ditekan karena target pelepasan surat utang negara tahun ini cukup banyak. Kementerian Keuangan menargetkan penerbitan obligasi negara Rp 200,654 triliun. Naik dibandingkan Rp 167,301 triliun realisasi tahun 2010. Dana hasil penerbitan tersebut sebagian untuk menutup defisit APBN 2011 sebesar Rp 124,657 triliun.