Wednesday, March 2, 2011

Harga Pertamax Naik Lagi Karena Krisis Libya Yang Berkelanjutan

Harga bahan bakar minyak nonsubsidi jenis pertamax di Jakarta dan sebagian besar wilayah Indonesia kembali naik terhitung mulai Selasa (1/3). Kenaikan harga BBM ini dipicu oleh melonjaknya harga minyak mentah dunia sebagai dampak krisis politik di kawasan Timur Tengah.

Menurut Vice President Komunikasi Korporat PT Pertamina (Persero) Mochamad Harun, kemarin di Jakarta, sebagian besar harga BBM nonsubsidi Pertamina, yang terdiri atas pertamax, pertamax plus, dan bio pertamax, berubah.

Harga pertamax di Jakarta dan sekitarnya naik dari Rp 7.950 per liter menjadi Rp 8.100 per liter. Di sejumlah wilayah lain, kenaikan harga pertamax berkisar Rp 100 hingga Rp 250 per liter. Harga pertamax di Sumatera Barat, misalnya, naik dari Rp 8.650 menjadi Rp 8.900 per liter.

Kenaikan harga pertamax ini diperkirakan menurunkan volume penjualan hingga 10 persen. Karena perbedaan harga pertamax dengan premium bersubsidi makin tinggi, sejumlah pengguna pertamax diperkirakan akan beralih ke premium yang saat ini harganya Rp 4.500 per liter.

Harun menjelaskan, Pertamina telah berusaha menahan kenaikan harga selama Februari ini. Akan tetapi, harga produk BBM Pertamina akhirnya terkerek kenaikan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP), yang sudah mencapai 111,36 dollar AS per barrel, dan harga minyak Brent 112 dollar AS per barrel.

Meski kenaikan harga minyak pada saat ini bersifat sementara, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa meminta pihak terkait tetap bekerja keras menaikkan produksi minyak di dalam negeri. ”Jangan lelet dalam meningkatkan produksi. BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi), Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) pantau terus. Jangan sampai ada hambatan,” ujar Hatta sebelum menghadiri rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan.

Terkait wacana pelaksanaan pengaturan BBM bersubsidi di Jawa-Bali pada Juli nanti, Pertamina siap melaksanakannya. Namun, pihaknya meminta kepastian kebijakan karena pembangunan infrastruktur BBM nonsubsidi butuh investasi besar. ”Ini memudahkan pengawasan karena lebih terlokalisasi daripada hanya diberlakukan di Jabodetabek,” ujar Harun.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita H Legowo sebelumnya menjelaskan, subsidi BBM dipastikan akan membengkak jika pemerintah dan DPR menunda pelaksanaan BBM bersubsidi. Semula pengaturan itu direncanakan akan mulai 1 April nanti.

Jika tidak dilakukan pengaturan BBM bersubsidi, kebutuhan BBM diperkirakan sekitar 42,2 juta kiloliter. Padahal, dalam APBN ditetapkan volume BBM bersubsidi 38,5 juta kiloliter. ”Jadi, ada selisih 3,5 juta kiloliter kalau dibiarkan seperti ini,” kata Evita.

No comments:

Post a Comment