Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, Selasa (29/3) di Nganjuk, Jawa Timur, mengungkapkan, ada beberapa komponen yang memengaruhi naiknya HPP. Di antaranya kenaikan ongkos tebang angkut tebu dari ladang ke pabrik gula, rendahnya rendemen gula, rendahnya harga jual tetes tebu, kenaikan biaya sewa lahan, dan ongkos tenaga kerja.
Tahun 2010, misalnya, ongkos tebang angkut mencapai Rp 130.000-Rp 140.000 per ton. Ini terjadi akibat truk tebu tak bisa masuk ke ladang tebu. Bahkan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, petani yang memaksakan diri panen saat hujan harus mengeluarkan biaya tebang angkut Rp 280.000 per ton. ”Kenaikan biaya tebang angkut 2010 berkisar Rp 4 juta-Rp 20 juta per hektar,” katanya.
Untuk tahun 2011 ini, petani memproyeksikan biaya tebang angkut hanya Rp 70.000-Rp 80.000 per ton. Ini bisa dicapai kalau kondisi iklim moderat. Kalau iklim kembali ekstrem seperti 2010, sudah tentu akan lebih tinggi lagi. Terkait rendemen, petani memproyeksikan kandungan rendemen gula dalam tebu 6,2-6,6 persen untuk panen tahun ini. Hal ini sedikit lebih tinggi dibanding 2010 yang berkisar 5-6 persen. Bahkan, beberapa petani ada yang rendemen tebunya kurang dari 5 persen. Biaya sewa tanah juga naik. Saat ini sudah mencapai Rp 10 juta-Rp 12 juta per hektar.
Ketua Umum APTRI Arum Sabil meminta Menteri Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar agar lebih fokus merevitalisasi pabrik gula. Produksi gula oleh pabrik gula BUMN kurang memuaskan. Kadar icumsa atau kadar keputihan gula terlalu tinggi, bahkan ada yang di atas 200. Gula itu basah dan tidak sehat.
No comments:
Post a Comment