”Semua negara itu telah menyesuaikan harga BBM-nya pada kisaran yang berbeda,” ujar Menteri Keuangan Agus Darmawan Wintarto Martowardojo di Jakarta, Sabtu (20/3).
Negara-negara yang menaikkan harga BBM itu adalah Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, China, Jepang, India, Korea Selatan, dan Australia. Negara yang menaikkan harga premium tertinggi adalah Filipina, yakni 11 persen.
”Adapun negara yang menaikkan harga solar tertinggi adalah Singapura dengan kenaikan 16 persen. Sementara Indonesia tetap mempertahankan harga pada posisi Rp 4.500 per liter,” kata Agus.
Menurut Agus, kebijakan harga di sembilan negara tersebut belum mendorong Indonesia untuk mengubah harga jual BBM di dalam negeri. Namun, pemerintah tetap akan melanjutkan proses pengaturan volume BBM bersubsidi untuk menurunkan tekanan terhadap APBN.
”Kami sebenarnya berharap, kebijakan itu diterapkan sejak 1 Januari 2011, tetapi kemudian ditunda hingga akhir Maret 2011. Namun, jika itu ditunda melampaui akhir Maret, volume konsumsi BBM bersubsidi akan melonjak ke kisaran 41-42 juta kiloliter dari target awal 38,6 juta kiloliter. Itu artinya akan ada kenaikan subsidi BBM antara Rp 3 triliun-Rp 6 triliun,” ujarnya.
Besaran subsidi energi diperhitungkan dengan memerhatikan tiga variabel, yakni harga jual minyak mentah Indonesia (ICP), produksi minyak mentah siap jual, serta nilai tukar rupiah. Setiap kenaikan ICP sebesar 1 dollar AS di atas asumsi yang ditetapkan dalam APBN 2011, yakni 80 dollar AS per barrel, akan menambah surplus sebesar Rp 100 miliar.
Namun, hal ini juga akan menimbulkan kenaikan anggaran dana pendidikan (yang diamanatkan UUD 1945 harus 20 persen dari anggaran belanja negara) sehingga jika dana pendidikan diperhitungkan juga, kenaikan 1 dollar AS ICP itu akan berubah menjadi defisit Rp 800 miliar.
Untuk mengantisipasi lonjakan subsidi energi akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, Kementerian Keuangan telah memperhitungkan tambahan anggaran cadangan risiko fiskal sebesar Rp 14,8 triliun, terutama untuk meredam kemungkinan lonjakan subsidi listrik.
Pengamat pertambangan dari Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner Institute), Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, cadangan risiko fiskal itu terlalu besar. Apalagi jika asumsi ICP di APBN 2011 hanya akan diubah ke level 90 dollar AS per barrel. Jika asumsi diubah ke 90 dollar AS per barrel, akan ada cadangan risiko fiskal sebesar Rp 22 triliun yang tidak produktif bagi perekonomian.
”Sebaiknya pemerintah mengedepankan pertimbangan politis dan populis menghadapi gejolak harga minyak, yakni dengan tidak memaksakan menaikkan harga BBM,” katanya
No comments:
Post a Comment