Anggota Pansus RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR, Abdul Malik Haramain, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (1/3), mengharapkan publik ikut mencermati poin-poin krusial dalam RUU tersebut karena menyangkut kepentingan orang banyak. ”Kalau jadi diundangkan, UU ini sangat berpotensi menimbulkan konflik di lapangan sehingga kepentingan semua pemangku kepentingan harus diakomodasi,” ujarnya.
RUU tersebut telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke DPR pada 15 Desember 2010. Pembahasan di Pansus—yang merupakan gabungan Komisi II dan Komisi V DPR—telah memasuki pandangan fraksi pekan lalu. Semua fraksi DPR sepakat melanjutkan pembahasan RUU tersebut bersama pemerintah. Dari pemerintah, Presiden menugaskan sejumlah menteri membahas bersama Pansus, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Malik Haramain mengemukakan, pasal yang bermasalah antara lain adalah Pasal 12, yang berbunyi, ”Pengadaan tanah untuk kepentingan usaha swasta dilakukan secara langsung dan sukarela oleh pihak swasta yang memerlukan tanah dengan pihak yang berhak.” ”Kami memahami pengadaan tanah untuk pembangunan itu penting, tetapi apa relevansinya tanah untuk swasta ikut diatur dalam RUU ini? Sebaiknya fokus ke tanah untuk kepentingan umum,” ujar Malik Haramain.
Secara terpisah, peneliti Agrarian Resource Center, Dianto Bachriadi, di Bandung, mengingatkan potensi masalah pengaturan tanah untuk swasta seperti dikemukakan Malik Haramain. Menurut Dianto, RUU ini, kalau isinya jadi diundangkan, berpotensi menjadi instrumen hukum baru untuk memperkuat praktik penguasaan tanah dalam skala besar oleh pemodal atau perusahaan. ”Padahal, banyak persil tanah rakyat yang tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup,” katanya.
No comments:
Post a Comment