Demikian disampaikan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joefly J Bahroeny saat membuka Pameran ”Seabad Komersialisasi Sawit di Indonesia” di Medan, Sumatera Utara, Senin (28/3). Kegiatan yang berlangsung sampai Rabu besok bertujuan memaparkan perkembangan kelapa sawit sejak benih tanaman hias dari Afrika Barat itu pertama kali dibudidayakan di Tanah Itam Ulu, Sumatera Utara, dan Sungai Liput, Aceh, tahun 1911.
”Istilahnya sampai kiamat pun akan ada protes sebab kelapa sawit tak tersaingi,” ujar Joefly.
Dia mencontohkan, isu lemak berbahaya dalam minyak goreng bisa dipatahkan oleh penelitian.
Kelapa sawit mampu menghasilkan sedikitnya 2,5 ton minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) per hektar per tahun dengan biaya produksi 300 dollar AS. Minyak kedelai, pesaing utama CPO, hanya menghasilkan 1 ton minyak per hektar per tahun dengan biaya 500 dollar AS. Indonesia memproduksi 21,6 juta ton CPO dari lahan seluas 7,9 juta hektar dan mengekspor 15,5 juta ton di antaranya pada 2010.
Gapki berharap, pemerintah terus mendukung kelapa sawit nasional. ”Kami sudah bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beliau mendukung kami. Kami juga menghormati perjanjian Indonesia dengan Norwegia tentang moratorium hutan. Dulu 400.000 hektar lahan bisa dibuka per tahun. Sekarang pelaku usaha masih wait and see (menanti),” ujar Joefly.
Pada saat yang sama, aktivis dari sedikitnya 35 organisasi non-pemerintah juga menggelar konferensi tandingan di Medan. Mereka mendesak pemerintah menghentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang merusak lingkungan dan menerapkan praktik upah buruh murah.
Menurut aktivis Kelompok Pelita Sejahtera, Manginar Situmorang, sedikitnya 80.000 buruh harian lepas di Sumut berupah antara Rp 29.000 dan Rp 31.500 per hari
No comments:
Post a Comment