Demikian benang merah seminar bertajuk ”Kebangkitan Kelas Menengah di Indonesia: Implikasi Sosial Ekonomi dan Politik” yang diselenggarakan Financial Reform Institute di Jakarta, Rabu (30/3). Seminar dibuka Direktur Financial Reform Institute M Husni Thamrin dengan pembicara ekonom Universitas Indonesia Muhammad Ikhsan, ekonom kepala World Bank Shubam Chauduri, politisi Partai Demokrat M Ikhsan Modjo, dan politisi Partai Amanat Nasional Bima Arya.
”Kita sedang di persimpangan jalan. Kalau kita salah melihat tren (pertumbuhan kelas menengah), bisa malah turun dan tidak berkembang,” ujar Ikhsan.
Saat ini, yang terpenting adalah mendorong kelas menengah potensial untuk naik ke kelompok yang berpendapatan lebih tinggi. Wirausaha yang berani mengambil risiko merupakan kelompok berpotensi kelas menengah berpendapatan tinggi.
”Untuk itu, makro ekonomi harus stabil. Tanpa stabilitas makro, tidak akan terbentuk orang yang berani mengambil risiko (usaha),” ujar Ikhsan.
Menurut Bank Dunia, sedikitnya 50 juta orang miskin telah masuk kelas menengah baru Indonesia dalam periode tahun 2003-2010. Namun, populasi kelas menengah dengan kisaran pengeluaran 2 dollar AS-4 dollar AS per hari masih sangat tinggi, yakni 38,5 persen.
Tanpa penciptaan lapangan kerja berkualitas, dimulai dari pembangunan infrastruktur, penegakan hukum, dan arus suplai bahan baku yang lancar, kelompok ini rentan miskin lagi.
”India 10 tahun lalu juga seperti Indonesia saat ini, yakni persoalan penciptaan lapangan kerja. Indonesia belum sampai pada kelas menengah berkualitas,” ujar Chauduri.
No comments:
Post a Comment