Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia Safari Azis pesimistis tingginya nilai dolar Amerika Serikat terhadap rupiah akan membawa berkah di sektor rumput laut. Musababnya, arus ekspor yang mestinya menimbulkan keuntungan bakal terganggu oleh rencana kenaikan bea keluar yang dicanangkan Kementerian Perdagangan.
“Meskipun masih ditangguhkan, pembeli dari luar (permintaan ekspor) tetap menahan diri dan menyebabkan sentimen negatif,” ujar Safari Azis ketika dihubungi Kamis, 5 Maret 2015. Padahal, menurutnya, lemahnya rupiah seharusnya menjadi peluang bagus untuk menggenjot ekspor.
Safari mengatakan, tak adanya kepastiaan hukum ihwal bea keluar membuat para importir negara asing mencari rumput laut di negara lain. Minat importir asing, menurutnya, sudah beralih ke India, Brasil, dan negara-negara Afrika yang bea keluarnya cenderung tetap dan bersahabat. “Situasi makin memburuk dari sejak menjelang Imlek,” ujar Safari.
Safari mencontohkan importir dari Cina, salah satu pelanggan terbesar petani rumput Indonesia menghentikan sementara pembelian. Situasi ini membuat harga rumput laut di tingkat petani turun hingga 50 persen karena kelebihan pasokan.
Rencana kenaikkan bea keluar rumput laut diumumkan Kementerian Perindustrian. Alasan Kementerian, kebijakan ini sebagai konsekuensi dari program hilirisasi olahan rumput laut masih belum optimal. Bahan baku rumput laut masih lebih banyak yang diekspor dibanding yang diolah di dalam negeri.
Itulah sebabnya Kementerian Perindustrian akan mencari instrumen aturan agar untuk memperketat ekspor bahan baku rumput laut, salah satunya, diberlakukan aturan bea keluar. Menurut Safari, situasi sekarang kurang mendukung. Faktanya, penyerapan rumput laut dalam negeri masih minim. “Teknologi, bahan kimia, daya saing, dan pemasaran dalam negeri masih sangat minim,” ujar Safari.
No comments:
Post a Comment