Thursday, March 12, 2015

Kebijakan Ekonomi Jokowi Yang Harus Diperbaiki Untuk Tetap Mendapatkan Kembali Jokowi Effect Yang Sudah Pudar

Pelemahan rupiah belakangan ini disebut sebagai dampak penguatan dolar dan ekonomi Amerika Serikat. Penguatan ini tak hanya berdampak terhadap rupiah, tapi juga mata uang lain. Ihwal hubungan faktor non-ekonomi dengan pelemahan rupiah, Ekonom Bank OCBC, Wellian Wiranto, mengibaratkan Presiden Joko Widodo sebagai bintang rock yang albumnya tak selalu enak didengar.

"Sekarang mungkin lagunya lagi enggak enak," kata Wellian saat berdiskusi dengan wartawan di Jakarta, Rabu, 12 Maret 2015. Wellian mengungkapkan, perumpamaan ini mengacu pada hasil Pemilihan Presiden 2014, yang dimenangkan Jokowi. Para pendukung Jokowi yang sangat banyak kala itu memiliki ekspektasi yang sangat tinggi terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Karena itu, setelah Jokowi terpilih, para pendukung, termasuk pasar, berharap Jokowi bisa menyelesaikan semua masalah dengan cepat. Namun harapan ini belum terpenuhi, sehingga berpengaruh terhadap pelaku pasar.

“Inilah kemudian yang menjadi pengaruh domestik terhadap pelemahan rupiah. Tapi kalau secara agregat kebijakannya masih oke,” ujar Wellian. Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, A. Tony Prasetiantono, sebelumnya mengatakan pelemahan rupiah saat ini bukan semata disebabkan oleh faktor ekonomi. Ia menganggap pelemahan juga disebabkan oleh kekecewaan pasar terhadap Presiden Joko Widodo.

“Kita semua kan berharap Pak Jokowi bisa mengambil keputusan yang cepat ya, tapi maaf, ternyata kurang,” kata Tony. Padahal, menurut Tony, masyarakat memiliki harapan yang besar terhadap Jokowi. Salah satu kejadian yang membuat Jokowi dicap bukan pengambil keputusan yang cepat adalah konflik Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kepolisian RI. “Masyarakat melihat ada something else yang membuat Jokowi lama dalam mengambil keputusan,” ujar Tony.

Ekonom Bank OCBC, Wellian Wiranto, mengatakan pemerintah harus merealisasikan pembangunan infrastruktur jika ingin membenahi perekonomian. Ia menjelaskan pembangunan infrastruktur memang akan meningkatkan impor dan defisit transaksi berjalan. Namun, risiko tersebut setimpal dengan manfaat yang akan didapat Indonesia.

“Kalau tak membangun infrastruktur dari sekarang, dampak negatifnya akan lebih luas,” kata Wellian di Jakarta, Kamis, 12 Maret 2015. Menurut dia, pembangunan infrastruktur juga dapat meningkatkan penanaman modal. Pasar dunia, Wellian menambahkan, saat ini tak memandang defisit transaksi berjalan hanya dari besaran. Jika aktif membangun infrastruktur, maka komposisi defisit Indonesia bukan lagi didominasi konsumsi. Impor barang modal akan dominan.

Menurut Wellian, infrastruktur yang memadai akan menarik bagi banyak pihak untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Salah satunya adalah investasi asing dan reinvestasi dari dividen. “Kalau infrastruktur bagus, depresiasi rupiah sampai 50 persen pun enggak akan ngaruh,” kata dia.

Indonesia harus mengubah citra di pasar dunia untuk memenangkan persaingan sebagai negara tujuan penanaman modal. Apalagi saat ini Jepang tengah melakukan quantitative easing. Artinya, bank sentral Jepang tengah menggelontorkan uang ke pengusahanya. Namun, pengusaha Jepang pasti akan memilih investasi di luar negeri ketimbang negaranya. “Ekonomi mereka kan lagi jelek, demografinya juga tak mendukung,” ujar Wellian.

Wellian optimistis Jepang akan memilih Indonesia sebagai sasaran. Salah satu sasarannya adalah banyak perusahaan Jepang yang telah mendirikan pabriknya di sini. Apalagi saat ini kondisi Thailand tengah terganggu dengan politik dalam negerinya. Karena itu, dengan membangun infrastruktur, maka akan banyak berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi Indonesia.

No comments:

Post a Comment