PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) mencatatkan rugi bersih sebesar US$ 149,8 juta atau sekitar Rp 1,97 triliun pada tahun lalu. Kerugian itu makin bengkak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Presiden Direktur Krakatau Steel, Irvan Kamal Hakim, mengatakan kerugian itu karena turunnya harga baja dunia, depresiasi rupiah, hingga kerugian yang dicatatkan oleh PT Krakatau Posco.
“Juga karena melemahnya pasar baja, sehingga pendapatan kami tidak mencapai target,” kata Irvan dalam keterangan tertulis, Kamis, 12 Maret 2015. Menurut Irvan, beban operasi perusahaan juga membengkak akibat tarif listrik industri naik sebanyak tiga kali sepanjang tahun lalu. Tak berbeda, biaya gas industri juga masih mahal, padahal harga minyak dan gas dunia mengalami tren penurunan. Sebagai perbandingan, harga gas industri di Malaysia hanya sekitar US$ 5 per million metric British thermal unit (MMBTU), sementara di Indonesia sebesar US$ 10 per MMBTU.
Irvan mengatakan tahun lalu Krakatau Posco mencatatkan kerugian sebesar US$ 236 juta. Dengan kepemilikan saham Krakatau Steel di Krakatau Posco sebesar 30 persen, Krakatau Steel ikut menanggung kerugian sebesar US$ 71,6 juta. Selain itu, Krakatau Posco baru beroperasi awal 2014 sehingga memerlukan waktu 2,5 bulan untuk permulaan produksi. “Kondisi itu juga ikut berkontribusi pada rendahnya produksi tahun lalu,” ujarnya.
Krakatau Steel mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 10,3 persen menjadi US$ 1,86 miliar. Penurunan itu akibat turunnya volume penjualan sebesar 2,5 persen dari 2,37 juta ton pada 2013 menjadi 2,31 juta ton pada 2014. Selain itu, penurunan pendapatan disumbang oleh anjloknya harga baja dunia. Kemudian fluktuasi kurs rupiah sepanjang tahun lalu turut menekan margin laba perusahaan. “Bahan baku dan energi kami beli dalam dolar AS. Komponen energi dan bahan baku menyumbang 80 persen dari total biaya produksi,” ujarnya.
Tahun lalu, laba kotor perusahaan anjlok 57 persen menjadi US$ 41,1 juta. Menurut Irvan, turunnya beban pokok pendapatan perusahaan sebesar 8,1 persen atau senilai US$ 161 juta belum mampu mengkompensasi penurunan pendapatan bersih. Pada akhir tahun lalu, Krakatau Steel membukukan kerugian operasi sebesar US$ 70,4 juta.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika memukul industri baja, termasuk PT Krakatau Steel (Persero). "Industri baja sangat terpengaruh karena sarat dengan komponen impor, " kata Direktur Utama Steel, Irvan Kamal Hakim. Irvan mengatakan proporsi komponen bahan baku dan energi dalam dalam struktur biaya industri baja mencapai 83 persen. Di tengah depresiasi nilai tukar rupiah, biaya energi di Indonesia turut membengkak.
Dalam prosesnya, kata Irvan, industri baja menggunakan energi dalam bentuk natural gas. Di pasaran internasional, harga natural gas sekitar US$ 3,8 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU). Sementara di Indonesia harganya mencapai US$ 9 per MMBTU.
Di tengah situasi itu, Krakatau Steel juga menghadapi anjloknya harga baja dunia. Melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina, Rusia, dan Jepang memaksa negara-negara produsen baja memasarkan produk mereka dengan harga murah. "Meski depresiasi rupiah menjadi potensi besar untuk eksportir, pasar baja Indonesia sedang jatuh."
Melesunya pasar ekspor baja kini diperburuk dengan menurunnya permintaan dari industri manufaktur domestik. Menurut Irvan, depresiasi rupiah menurunkan permintaan karena daya beli semakin rendah.
No comments:
Post a Comment