Pada perdagangan di pasar uang kemarin, nilai tukar rupiah kemarin berakhir suram di level 13.050 per dolar Amerika Serikat.
Lindawati Susanto menyarankan korporasi menambah aset-aset berdenominasi dolar guna menyiasati kondisi pelemahan rupiah. Sebab, agar resiko kerugian kurs dapat semakin diminimalisir, korporasi tak cukup bila hanya sekedar melakukan investasi lindung nilai (hedging). “Saat ini, hedging saja kurang strategis,” kata Lindawati.
Terlebih, menurut Lindawati, aktivitas hedging dinilai sebagian investor kurang menguntungkan. Rupiah yang diyakini masih berpotensi menguat, membuat investor merasa bakal mengalami kerugian, bila melakukan hedging dalam waktu dekat. “Rugi, karena semestinya likuiditas bisa digunakan untuk menambah operasional perusahaan sementara waktu,” ujar dia.
Lindawati mengatakan korporasi boleh memilih mekanisme konvensional atau modern dalam upaya peningkatan kepemilikan aset bernilai dolar. Pasalnya, mekanisme tersebut sebenarnya bergantung dengan likuiditas keuangan masing-masing korporat. “Bisa membuka deposito dalam nominal dolar atau membeli langsung mata uang dolar, disesuaikan dengan likuiditas perusahaan,” sambung Lindawati.
Tentu saja, menurut Lindawati, kepemilikan aset bernilai valuta asing bukan hal yang baru. Dalam Peraturan Bank Indonesia No. 16/20/PBI/2014 dijelaskan bahwa perusahaan non-bank yang memiliki utang luar negeri wajib menyediakan rasio likuiditas minimum paling rendah sebesar 50 persen (setelah 2015, rasio likuiditas dinaikkan menjadi 70 persen).
Hal itu dimaksudkan untuk mencegah penurunan kapasitas pembayaran perusahan saat nilai tukar rupiah mengalami pelemahan. Bila hal tersebut tidak dipenuhi, maka sanksi dari Bank Indonesia pun menunggu korporasi bersangkutan.
No comments:
Post a Comment