"Harapannya begitu, bisa positif kembali, tapi tidak di tahun yang sama," katanya Rabu (11/3/2015). Rencananya PHK itu akan dilakukan pada kuartal II-2015. Setelah PHK tahun ini, kinerja emiten berkodeBTEL itu diperkirakan masih akan negatif. Kinerja terakhir yang sudah dilaporkan operator Esia itu adalah pada Juni 2014. Pada periode tersebut, perusahaan masih mencatat rugi sebesar Rp 316,8 miliar. Kerugiannya makin tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya Rp 292,6 miliar.
Jastiro menambahkan, Bakrie Telecom harus mencari cara untuk melakukan penghematan supaya tetap bisa bersaing di industri telekomunikasi yang sudah matang seperti sekarang ini. "Bisnis harus tetap tumbuh. Industri ini sudah mature, kita harus cari jalan supaya tetap sehat, supaya bisa survive," jelasnya. Salah satu cara mengejar penghematan adalah dengan PHK. Saat ini jumlah perusahaan telekomunikasi itu ada sekitar 1.300-an yang tersebar di seluruh Indonesia. Para karyawan ini, kata Jastiro, sudah diberi sosialisasi mengenai rencana PHK tersebut.
"Kita totalnya nanti yang pasti harus di bawah 1.000, pengurangan antara 300-400," ucapnya. Perusahaan telekomunikasi Grup Bakrie, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), berniat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) maksimal 400 karyawan. Pemangkasan jumlah karyawan dilakukan demi efisiensi.
Presiden Direktur Bakrie Telecom, Jastiro Abi, mengatakan rencana PHK ini sudah lama digulirkan dan masih terus dibahas. Pelaksanaan PHK ini diperkirakan pada kuartal II-2015. "Kita lakukan (PHK) sekaligus, tidak bertahap. Kuartal dua kita lakukan," ujar Jastiro Rabu (11/3/2015). Saat ini jumlah karyawan operator Esia itu ada sekitar 1.300 yang tersebar di seluruh Indonesia. Para karyawan ini sudah diberi sosialisasi mengenai rencana PHK tersebut.
"Kita totalnya nanti yang pasti harus di bawah 1.000, pengurangan antara 300-400," ucapnya. Ia menambahkan, emiten berkode BTEL itu harus mencari cara untuk melakukan penghematan supaya tetap bisa bersaing di industri telekomunikasi yang sudah matang seperti sekarang ini. "Bisnis harus tetap tumbuh. Industri ini sudah mature, kita harus cari jalan supaya tetap sehat, supaya bisa survive," jelasnya. Dengan dikuranginya jumlah karyawan, kata Jastiro, maka perusahaan bisa lebih efisien. Efisiensi dari PHK ini akan memiliki efek domino yang positif.
"Dengan orang berkurang kan efisien, birokrasi dipangkas, tidak hanya cost karyawan yang berkurang, tapi juga office, listrik, turunannya juga banyak. Multiplier effect," ujarnya. Para pemegang obligasi anak usaha PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) berang karena ada rencana restrukturisasi utang secara sepihak. Utang perusahaan telekomunikasi itu tidak hanya berbentuk obligasi.
Perusahaan yang tergabung dalam Grup Bakrie itu saat ini sedang dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk melunasi kewajibannya yang mencapai Rp 11 triliun. Tuntutan PKPU ini muncul setelah salah satu vendor Bakrie Telecom yaitu PT Netwave Multi Media mengajukan permohoan ke pengadilan atas tagihan Rp 4,7 miliar yang belum dibayarkan operator Esia tersebut. Akhirnya Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan pada 10 November, yang memutuskan pemberian PKPU sementara kepada BTEL selama 30 hari sejak tanggal putusan.
Setelah hasil verifikasi PKPU, diketahui total utang Bakrie Telecom mencapai Rp 11,3 triliun. Perseroan juga sudah punya rencana membayar utang-utangnya ini. Berikut rincian utang Bakrie Telecom setelah hasil verifikasi PKPU per 5 Desember 2014, seperti dikutip dari bahan paparan publik perseroan, Senin (23/2/2015)
- Utang BHP dan USO sebesar Rp 1,2 triliun
- Utang Usaha sebesar Rp 2,4 triliun
- Utang Tower Providers sebesar Rp 1,3 triliun
- Utang Dana Hasil Wesel Senior sebesar Rp 5,4 triliun
- Utang Akibat Derivatif sebesar Rp 185 miliar
- Utang Afiliasi sebesar Rp 73,7 miliar
- Utang Dengan Jaminan sebesar Rp 625 miliar
- Utang Pembiayaan Kendaraan sebesar Rp 2,6 miliar
Bakrie Telecom juga sudah membeberkan cara melunasi utang-utangnya tersebut, yaitu dengan cara dilunasi secara bertahap dalam jangka waktu tertentu hingga diubah menjadi Mandatory Convertible Bond (MCB) yang dapat dikonversikan menjadi saham BTEL pada harga Rp 200 per lembar.
Cara pelunasan seperti ini juga diterapkan pada utang yang diterbitkan anak usahanya, BTEL Pte Ltd, yang menawarkan obligasi US$ 380 juta (Rp 4,1 triliun) di New York. Bakrie Telecom sudah dituntut ke Pengadilan New York karena beberapa kali gagal bayar pokok dan bunga obligasi. Bakrie Telecom pun berniat merestrukturisasi utang tersebut, tapi tanpa melibatkan pemegang sahamnya alias memakai cara yang 'kreatif'.
Perusahaan telekomunikasi Grup Bakrie, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), punya cara 'kreatif' untuk bereskan utang-utangnya. Cara yang memanfaatkan celah hukum ini pun diprotes oleh para krediturnya. Pasalnya, para pemegang obligasi yang diterbitkan oleh anak usaha Bakrie Telecom di New York, BTEL Pte Ltd, tidak diberi hak voting dalam rencana restrukturisasi utang.
Dalam rencana pembenahan utang tersebut, dana para pemegang obligasi berpotensi tidak kembali karena utangnya tidak secara langsung diambil oleh operator Esia tersebut. Beberapa investor asing khawatir skema penyelesaian utang yang 'kreatif' ini bakal ditiru oleh perusahaan-perusahaan Indonesia lainnya. Cara seperti ini bisa dipastikan memberatkan investor.
Apalagi saat ini banyak perusahaan-perusahaan komoditas dalam negeri yang utangnya menggemuk gara-gara harga komoditas yang lesu. "Ini memang meresahkan. Sekarang ini banyak perusahaan Indonesia yang butuh restrukturisasi utang. Investor juga sudah mulai sadar akan hal ini," kata salah satu fund manager asing yang beroperasi di Indonesia kepada Reuters, Senin (23/2/2015).
Bakrie Telecom berniat merestrukturisasi utangnya dengan cara yang tak lazim, yaitu dengan memberi utang kepada diri sendiri. Ceritanya begini, Bakrie Telecom membuat anak usaha, yaitu BTEL Pte Ltd, terlebih dahulu. Nah, anak usahanya ini menerbitkan surat utang yang dibeli masyarakat di New York. Uang hasil obligasi itu dipinjamkan ke induk usaha, yaitu Bakrie Telecom.
Ketika utang itu macet, kelompok usaha Bakrie itu harus mengajukan rencana restrukturisasi kepada para kreditur. Tapi dalam kasus ini para pemegang obligasi tidak punya hak voting.
Bakrie Telecom beralasan, para pemegang obligasi perusahaan tidak punya hak untuk voting karena bukan kreditur langsung. Obligasi yang mereka pegang diterbitkan oleh perusahaan terpisah (special purpose vehicle/SPV) yang bermarkas di New York, yaitu BTEL Pte Ltd. Ketika kreditur protes atas restrukturisasi utang, maka yang dituntut adalah BTEL Pte Ltd dan bukan Bakrie Telecom. Para kreditur dinilai tidak punya hubungan langsung dengan operator Esia tersebut.
Manuver yang tidak diduga-duga investor ini sudah disetujui oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Padahal wali amanat obligasi tersebut, Bank of New York Mellon, sudah menyatakan langkah tersebut melanggar dari sisi kontrak maupun hukum. Senior Director Fitch Ratings, Vicky Melbourne, mengatakan persetujuan atas restrukturisasi utang tersebut menonjolkan adanya kelemahan dalam pemerintahan Indonesia.
"Investor asing menjadi semakin sadar atas kelemahan hukum di Indonesia," kata Melbourne kepadaReuters.
Cara pelunasan seperti ini juga diterapkan pada utang yang diterbitkan anak usahanya, BTEL Pte Ltd, yang menawarkan obligasi US$ 380 juta (Rp 4,1 triliun) di New York. Bakrie Telecom sudah dituntut ke Pengadilan New York karena beberapa kali gagal bayar pokok dan bunga obligasi. Bakrie Telecom pun berniat merestrukturisasi utang tersebut, tapi tanpa melibatkan pemegang sahamnya alias memakai cara yang 'kreatif'.
Perusahaan telekomunikasi Grup Bakrie, PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), punya cara 'kreatif' untuk bereskan utang-utangnya. Cara yang memanfaatkan celah hukum ini pun diprotes oleh para krediturnya. Pasalnya, para pemegang obligasi yang diterbitkan oleh anak usaha Bakrie Telecom di New York, BTEL Pte Ltd, tidak diberi hak voting dalam rencana restrukturisasi utang.
Dalam rencana pembenahan utang tersebut, dana para pemegang obligasi berpotensi tidak kembali karena utangnya tidak secara langsung diambil oleh operator Esia tersebut. Beberapa investor asing khawatir skema penyelesaian utang yang 'kreatif' ini bakal ditiru oleh perusahaan-perusahaan Indonesia lainnya. Cara seperti ini bisa dipastikan memberatkan investor.
Apalagi saat ini banyak perusahaan-perusahaan komoditas dalam negeri yang utangnya menggemuk gara-gara harga komoditas yang lesu. "Ini memang meresahkan. Sekarang ini banyak perusahaan Indonesia yang butuh restrukturisasi utang. Investor juga sudah mulai sadar akan hal ini," kata salah satu fund manager asing yang beroperasi di Indonesia kepada Reuters, Senin (23/2/2015).
Bakrie Telecom berniat merestrukturisasi utangnya dengan cara yang tak lazim, yaitu dengan memberi utang kepada diri sendiri. Ceritanya begini, Bakrie Telecom membuat anak usaha, yaitu BTEL Pte Ltd, terlebih dahulu. Nah, anak usahanya ini menerbitkan surat utang yang dibeli masyarakat di New York. Uang hasil obligasi itu dipinjamkan ke induk usaha, yaitu Bakrie Telecom.
Ketika utang itu macet, kelompok usaha Bakrie itu harus mengajukan rencana restrukturisasi kepada para kreditur. Tapi dalam kasus ini para pemegang obligasi tidak punya hak voting.
Bakrie Telecom beralasan, para pemegang obligasi perusahaan tidak punya hak untuk voting karena bukan kreditur langsung. Obligasi yang mereka pegang diterbitkan oleh perusahaan terpisah (special purpose vehicle/SPV) yang bermarkas di New York, yaitu BTEL Pte Ltd. Ketika kreditur protes atas restrukturisasi utang, maka yang dituntut adalah BTEL Pte Ltd dan bukan Bakrie Telecom. Para kreditur dinilai tidak punya hubungan langsung dengan operator Esia tersebut.
Manuver yang tidak diduga-duga investor ini sudah disetujui oleh Pengadilan Negeri Jakarta. Padahal wali amanat obligasi tersebut, Bank of New York Mellon, sudah menyatakan langkah tersebut melanggar dari sisi kontrak maupun hukum. Senior Director Fitch Ratings, Vicky Melbourne, mengatakan persetujuan atas restrukturisasi utang tersebut menonjolkan adanya kelemahan dalam pemerintahan Indonesia.
"Investor asing menjadi semakin sadar atas kelemahan hukum di Indonesia," kata Melbourne kepadaReuters.
No comments:
Post a Comment