Setelah merugi dalam lima bulan pertama 2015, para pengusaha ritel mengharap berkah puasa dan lebaran sebagai penyelamat bisnisnya pada tahun ini. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) optimistis penjualan produk fashion akan meningkat 300 persen menjelang lebaran, sedangkan produk makanan bisa tumbuh 50 persen dari rata-rata penjualan bulanan.
"Dalam setahun itu ada bulan yang gemuk dan kurus. Kalau lagi bulan sepi kami merugi, minus 0,7-0,9 persen. Biasanya keuntungan dipetik saat puasa dan lebaran atau masa liburan anak sekolah," ujar Ketua Aprindo Tutum Rahanta. Tutum mengungkapkan menurunnya daya beli masyarakat belakangan ini membuat bisnis ritel anjlok 10-15 persen hingga Mei 2015. Pada bulan-bulan peralihan semester tahun ini, Juni-Juli, peluang untuk tumbuh secara bulanan sangat terbuka mengingat ada tiga momen tahunan yang biasanya mendongkrak konsumsi masyarakat.
"Untuk penjualan produk fashion itu bisa meningkat dua sampai tiga kali lipat, 200-300 persen saat puasa dan lebaran. Sedangkan makanan karena sifatnya konsumsi yang sebenarnya stabil dan biasa dalam keseharian, paling meningkat 30-50 persen," jelasnya. Aprindo mencatat saat ini jumlah anggotanya sebanyak 110 persuahaan ritel nasional dan multinasional, dengan jumlah outlet keseluruhan mencapai 270 ribu di seluruh Indonesia.
Sebelumnya, Tutum mengungkapkan pertumbuhan usaha ritel anggota APrindo rata-rata hanya tumbuh 7 persen pada tahun lalu, jauh di bawah rata-rata pertumbuhan normal 15 persen per tahun. Secara keseluruhan, nilai bisnis ritel pada tahun lalu mencapai Rp 18 triliun. Untuk tahun ini, lanjut Tutum, bisnis ritel dinilai masih akan dihantui kebijakan moneter yang ketat berikut pelemahan nilai tukar (depresiasi) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Meski begitu, APRI tetap optimistis industri ritel masih dapat tumbuh 10 persen pada 2015 meski daya beli masyrakat masih berpotensi melemah akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali terjerembab ke level Rp 13.407 (kurs tengah Bank Indonesia) pada perdagangan Senin (9/3), setelah sempat menguat tipis pada hari sebelumnya. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengeluhkan biaya kurs dan impor yang membengkak akibat depresiasi kurs tersebut.
Tutum Rahanta, Wakil Ketua Umum Aprindo mengamini pelemahan rupiah kali ini disebabkan oleh menguatnya ekonomi Amerika Serikat (AS). Masalahnya, kata Tutum, depresiasi terjadi di tengah daya beli masyarakat yang tengah menurun. “Intinya kita lihat seakan-akan memang faktor global atau eksternal. Tapi masalahnya bagi kami adalah, saat ini daya beli masyarakat juga sedang lemah,” ujarnya. Menurutnya, masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari produk impor. Terutama untuk beberapa jenis produk, seperti elektronik, barang konsumsi, dan bahan baku.
“Pengaruhnya ke biaya impor dan peralatan yang tidak ada di Indonesia. Kalau fully imported penaikan biaya impor bisa mencapai 5 persen sejak awal tahun ini,” jelas Tutum. Terkait langkah pemerintah terhadap pelemahan rupiah saat ini, Tutum menilai Bank Indonesia belum menunjukkan kekuatannya. Dia mengaku pihaknya sedang menunggu penjelasan bank sentral terkait hal itu.
“Apakah memang sengaja dibiarkan karena alasan tertentu, atau ada sebab lain? Karena beberapa kali kami lihat jawaban yang ada melulu tentang kondisi global dan dolar AS yang sedang perkasa,” katanya. Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menampik tudingan adanya faktor kesengajaan dari otoritas terkait untuk memperlemah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurutnya, penguatan dolar terjadi secara global terhadap mayoritas mata uang di dunia.
"Supaya tidak timbul kesan pelemahan rupiah ini 'by design', saya tegaskan tidak, pelemahan sekarang tidak 'by design', Pelemahan sekarang kalau saya generalisasi karena penguatan mata uang dollar terhadap semua mata uang," kata Bambang, belum lama ini. Bambang mengakui beberapa negara memang sengaja melemahkan nilai mata uangnya, antara lain Yen Jepang, Dolar Australia, dan Euro. Langkah itu diambil pemerintah sejumlah negara guna mendorong ekspor.
“Beberapa mata uang dengan sukarela melemahkan dirinya, karena dia butuh untuk kepentingan ekonominya, untuk daya saingnya. Sehingga dia memang sengaja melemahkan posisi mata uangnya,” kata Bambang. Berbeda dengan Indonesia, kata Bambang, pemerintah dan Bank Indonesia tidak akan lepas tangan terhadap kondisi pelemahan kurs ini. Namun, dia menilai saat ini merupakan momentum terbaik bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor manufaktur andalan, seperti produk berbasis sumber daya alam dan otomotif.
“Sekarang saya berharap industri mobil makin gencar ekspor mobil sama motor. Daripada jual mobil-motornya bikin macet Jakarta, mendingan itu diekspor,” ucap Bambang. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengungkapkan omzet pelaku bisnis ritel anjlok sekitar 10-15 persen sejak awal tahun akibat depresiasi rupiah dan pelemahan daya beli masyarakat. Karenanya, Wakil Ketua Aprindo Tutum Rahanta berharap langkah Bank Indonesia (BI) membatasi transaksi valas bisa meredam kejatuhan rupiah dan kembali menggairahkan sektor ritel.
"Kami tidak masalah jika dolar dibatasi karena transaksi terbesar sebenarnya bukan di ritel. Silahkan BI menegakan hukum, dan saya kirta memang negara harus buat aturan main," ujarnya. Saat ini, kata Tutum, jumlah anggota Aprindo yang tercatat sebanyak 110 perusahaan nasional dan multinasional, dengan total outlet mencapai 27 ribu unit di seluruh Indonesia. Sejak awal bergabung, Aprindo mewajibkan seluruh anggotanya untuk menggunakan rupiah sebagai acuan transaksi di dalam negeri.
"Jadi memang sejak awal tidak ada yang pakai dolar dan tidak boleh karena kita jual produk di dalam negeri dan pembelinya mayoritas orang lokal. Walapun ada orang asing yang beli oleh-oleh di Sarinah, misalnya, itu pun harganya pakai rupiah," tuturnya. Kendati tidak menggunakan dolar AS dalam keseharian perdagangannya, Tutum Rahanta mengatakan dampak pelemahan kurs sangat terasa terhadap kinerja perusahaan ritel. Pasalnya, tak sedikit produk yang dijual merupakan barang impor dan dari sisi daya beli masyarakat juga terpukul karena inflasi yang naik akibat itu.
Tutum menyarankan BI membuka layanan pengaduan publik terkait pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh individu maupun perusahaan-perusahaan ritel yang beroperasi di Indonesia.
No comments:
Post a Comment