Monday, June 22, 2015

Daya Beli Masyarakat Dikhawatirkan Mengalami Penurunan

Sedemikian khawatirnya pemerintah terhadap sinyalemen kemerosotan daya beli masyarakat (private consumption) sampai-sampai menghapuskan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) sebesar 40 persen atas barang-barang bermerek, dari parfum, sadel kuda, peralatan golf, hingga tas Louis Vuitton. Daya beli dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat dan tingkat harga. Pendapatan nominal masyarakat umum naik. Gaji pegawai negeri selalu naik setiap tahun lebih tinggi ketimbang laju inflasi. Upah minimum juga selalu naik di atas laju inflasi.

Di pihak lain, laju inflasi censerung turun setelah mencapai titik tertinggi pada bulan Desember 2014 akibat kenaikan tajam harga bahan bakar minyak (BBM) pada pertengahan November 2014.



Yang mengalami tekanan adalah masyarakat berpendapatan rendah. Upah riil buruh tani pada bulan Mei 2015 turun sebesar 0,42 persen. Petani juga mengalami tekanan. Nilai tukar petani (NTP) nasional bulan Mei turun,12 persen dibandingkan NTB bulan sebelumnya. Petani dan buruh tani tidak pernah tahu tas Louis Vuitton dan parfum mahal, apalagi sadel kuda dan peralatan golf. Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan untuk mendongkrak daya beli kelompok pendapatan rendah? Mengapa kelas atas terus yang diopeni?

Berdasarkan data produk domestik bruto (PDB) triwulan I-2015, konsumsi masyarakat masih tumbuh di atas 5 persen. Pada triwulan II-2015 pertumbuhan konsumsi masyarakat diperkirakan masih di kisaran 5 persen. Besar kemungkinan peningkatan konsumsi yang masih di atas 5 persen itu dimotori oleh kelas menengah.



Tidak ada tanda-tanda yang cukup meyakinkan kalau pendapatan kelas mengengah ke atas turun. Tengok saja pertumbuhan dana masyarakat (dana pihak ketiga/DPK) di perbankan pada triwulan I-2015 yang masih naik cukup tajam sebesar 16 persen dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 12,3 persen. Pada April 2015 pertumbuhan DPK sedikit turun menjadi 14,2 persen.

Data Bank Indonesia sebagaimana tertera pada peraga di bawah menunjukkan tren kenaikan DPK. Penurunan hanya terjadi untuk tabungan yang memang kecenderungannya turun terus sejak Agustus 2012.



Memang penjualan mobil dan sepeda motor turun. Penjualan semen juga turun. Bisnis ritel juga dikabarkan melemah. Tapi itu semua tidak otomatis menggambarkan pendapatan rakyat keseluruhan turun. Pendapatan terbukti naik. Namun, porsi pendaatan yang dibelanjakan turun. Mereka lebih banyak menabung, terutama dalam bentuk deposito karena pasar modal bergejolak dan nilai tukar rupiah terus merosot. Sehingga, boleh jadi pemerintah salah membaca dinamika perekekonomian dan masyarakat.

Yang pasti, belanja pemerintahlah yang pertumbuhannya merosot tajam. Dan itu sudah terjadi sejak 2014 yang mana pertumbuhan konsumsi pemerintah hanya 1,98 persen. Pada triwulan I-2015 masih tetap rendah sebesar 2,21 persen. Jadi, yang bikin lesu adalah pemerintah sendiri. Bagaimana dengan investasi? Sejelek-jeleknya investasi (domestik dan asing), pertumbuhannya pada triwulan I-2015 masih lebih tinggi ketimbang tahun 2014, masing-masing 4,36 persen dan 4,12 persen.

Akibat belanja pemerintah seret, honor jutaan pegawai negeri tertahan. Honor sertifikasi guru dan dosen sampai Mei belum dibayar. Juga honor lainnya. Terang saja konsumsi turun atau setidaknya tertunda. Ketimbang membebaskan PPnBM barang konsumsi mewah, lebih baik pemerintah mempercepat pembayaran yang menjadi hak pegawai negeri dan pegawai honorer.

Yang diduga jadi sumber masalah adalah pemerintah sendiri. Selain lambat belanja, kepercayaan terhadap pemerintah merosot. Trust jadi masalah, sehingga masyrakat mencari selamat sendiri, berjaga-jaga dengan mengurangi belanja dan meningkatkan tabungan, juga menyimpan dollar lebih banyak. Yang membuat tamba parah, para pejabat sendiri juga ikut beternak dollar.

No comments:

Post a Comment