Sunday, June 28, 2015

Dampak Bangkrutnya Yunani Terhadap Ekonomi dan Utang Pemerintah Indonesia

Saat ini, Indonesia masih menarik pinjaman luar negeri. Per Mei 2015, utang luar negeri pemerintah Indonesia (baik bilateral maupun multilateral) tercatat Rp 691,66 triliun (24,3% dari total utang pemerintah Rp 2.843,25 triliun). Jumlah ini turun dari bulan sebelumnya Rp 685,9 triliun. Secara bilateral, Jepang, Prancis, dan Jerman masih menjadi kreditur terbesar Indonesia. Sementara secara multilateral, Indonesia masih meminjam kepada Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB).

Berikut adalah pemberi pinjaman bilateral dan multirateral terbesar buat Indonesia, seperti dikutip dari data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Selasa (23/6/2015).

  1. Bank Pembangunan Islam (IDB)
    Per Mei 2015, utang pemerintah Indonesia ke IDB mencapai Rp 7,94 triliun, naik dari bulan sebelumnya Rp 7,83 triliun. Persentasenya adalah 1,1% dari total utang luar negeri Indonesia.
  2. Jerman
    Hingga Mei 2015, utang pemerintah Indonesia ke Jerman mencapai Rp 20,82 triliun, naik tipis dari bulan sebelumnya Rp 20,42 triliun. Ini adalah 3% dari total utang luar negeri pemerintah pusat.
  3. Prancis
    Sampai Mei 2015, utang Indonesia ke Prancis mencapai Rp 25,19 triliun. Jumlah ini naik dari bulan sebelumnya Rp 24,73 triliun. Jumlah tersebut adalah 3,6% dari total utang luar negeri pemerintah pusat.
  4. Bank Pembangunan Asia (ADB)
    Utang dari ADB per Mei 2015 adalah Rp 108,75 triliun, naik dari bulan sebelumnya Rp 107,35 triliun. Jumlah ini adalah 15,7% dari total utang luar negeri pemerintah pusat.
  5. Bank Dunia
    Pemberi utang luar negeri terbesar kedua adalah Bank Dunia. Jumlah utang Indonesia ke Bank Dunia per Mei 2015 mencapai Rp 184,21 triliun. Jumlah ini naik dari bulan sebelumnya Rp 180,31 triliun. Utang Indonesia ke Bank Dunia mencapai 26,6% dari total utang luar negeri pemerintah.
  6. Jepang
    Negeri Matahari Terbit adalah kreditur terbesar Indonesia. Per Mei 2015, utang pemerintah Indonesia ke Jepang mencapai Rp 213,27 triiun, turun dari bulan sebelumnya Rp 217,88 triliun. Utang tersebut mencapai 30,8% dari total pinjaman luar negeri.
Permasalahan yang dialami Yunani telah mengakibatkan guncangan terhadap pasar keuangan global. Yunani terancam bangkrut karena berpotensi gagal bayar utang-utangnya. Analis Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih menyebutkan permasalahan itu harus menjadi pembelajaran bagi pemerintah Indonesia. Khususnya dalam menangani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Lana menuturkan, kesalahan pemerintah Yunani berawal dari kebijakan populis dengan mengucurkan banyak dana yang bersifat sosial kepada masyarakat. Sementara anggaran negara berada dalam posisi defisit. "Defisit anggaran Yunanti melebar terlalu jauh, sehingga membuat pemerintahannya terus menarik utang,"‎ ungkap Lana Hingga kemudian rasio utang terhadap PDB Yunani mencapai 120%. Penggunaan anggaran tersebut pastinya tidak memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Yunani.

"Rasio utangnya terhadap PDB mencapai 120%. Itu sudah nggak sehat. Saya kira memang harus hati-hati dalam anggaran," sebutnya. Bila dibandingkan dengan Indonesia, kondisinya cukup berbeda jauh. Sebab rasio utang terhadap PDB Indonesia masih pada kisaran 25%. "Kalau kita memang masih cukup aman. Tapi tetap perlu kehati-hatian yang tinggi," terang Lana.

Pemerintah juga diharapkan dapat menjaga pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5%. Meskipun tidak didukung oleh kondisi global. Karena ini yang akan menjadi kepercayaan dan kenyamanan bagi investor. "Maka harus serius soal perlambatan ekonomi. Kalau pertumbuhan dijaga di 5% rating investment kita bisa bertahan," tukasnya.

Permasalahan utang Yunani belum juga mencapai titik temu. Negosiasi masih terus dilakukan antara kreditur, yakni IMF (Dana Moneter Internasional), ECB (Bank Sentral Eropa), dan Komisi Eropa dengan pemerintah Yunani untuk penyelesaian utang senilai 1,54 miliar euro tersebut.Berulang kali negosiasi gagal dan membuat pasar keuangan global justru bergejolak. Kata sepakat sangat ditunggu para investor. Sebab ini yang akan menjadi kepastian dari arah perekonomian ke depan.

Indonesia, mau tak mau harus ikut terpengaruh di dalamnya. Meskipun Indonesia dan Yunani tak terkoneksi secara langsung. Namun, di era perekonomian sekarang, negara manapun yang sedang bergejolak akan terkena dampak. Kawasan Eropa memang mengalami tekanan paling besar akibat ketidakpastian Yunani. Seperti yang terlihat pada nilai tukar Euro dan indeks saham Eropa dalam beberapa waktu terakhir.

"Situasi di pasar keuangan Eropa berpotensi lebih bergejolak jika situasi utang di Yunani kembali memburuk. Yunani saat ini masih dihantui oleh kewajiban pembayaran utang pada bulan ini. Kegagalan pembayaran utang Yunani akan memberi sentimen negatif ke nilai tukar euro dan indeks saham Eropa," kata Myrdal Gunarto, Ekonom PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII).

Hal ini sekaligus menjadi sentimen negatif bagi pelaku pasar dari negara lain. Karena artinya pasar keuangan tengah mengalami guncangan. Ada kecenderungan dana akan mengarah ke Amerika Serikat (AS) karena dianggap sebagai safe haven country. Termasuk dari Indonesia.

Kondisi ini akan membuat dolar AS menguat terhadap mata uang negara lain. Rupiah pun juga akan terperosot cukup dalam dan berdampak terhadap perekonomian nasional. "Perkembangan utang Yunani yang masih belum jelas juga akan mendorong pelemahan Rupiah lebih lanjut," sebutnya.Maka dari itu, meskipun persoalan Yunani menjadi faktor di luar kontrol pemerintah. Namun tetap tak bisa luput dari perhatian. Penguatan fundamental ekonomi adalah langkah yang sejatinya harus direalisasikan.

Yunani sekarang tengah di ambang kebangkrutan, seiring dengan kemungkinan gagal bayar atas utangnya yang berjumlah 1,5 miliar euro (Rp 22 triliun). Negosiasi Pemerintah Yunani dengan Troika alias tiga serangkai Uni Eropa, European Central Bank (ECB), dan IMF belum juga tercapai.

Kondisi ini akan berdampak buruk terhadap negara-negara berkembang, seperti Indonesia, Brasil, Turki, India, Afrika Selatan, dan lainnya. Sebab‎, negara-negara ini dianggap punya risiko yang sama. "Kalau sampai gagal bayar, risiko atas surat utang dari emerging market jadi naik. Terutama di bond market. Kalau saham itu negatif sementara. Kalau di bond itu badan pemeringkat akan menganggap emerging market kemungkinan gagal bayarnya tinggi," kata Lana Soelistianingsih, analis Samuel Sekuritas

Pada sisi lain, nilai tukar rupiah juga akan mengalami tekanan seperti mata uang negara lainnya. Sebab investor lebih memilih mengarahkan dananya ke Amerika Serikat (AS). "Intinya rupiah cenderung melemah. Ini jeleknya, mudah-mudahan itu nggak terlalu lama. Karena banyak yang sudah mempertimbangkan kalau itu gagal itu bisa menerima," sebutnya.

Diharapkan dolar AS masih bergerak pada level Rp 13.300-13.400. Meskipun besar peluang rupiah untuk melemah cukup dalam. "Untuk sementara masih bisa ketahan di level itu. Walaupun ruang ke atas masih terbuka. Artinya. Kalau tembus Rp 13.400 akan mencoba naik lagi. Efeknya mungkin hanya minggu pertama, itu yang kelihatannya agak berat," terangnya.

No comments:

Post a Comment