Dia mengatakan, perseroan bakal terus mencari strategi baru untuk menyiasati Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 yang melarang penjualan minuman keras dengan kandungan alkohol sampai 5 persen di minimarket dan toko pengecer tersebut. Perusahaan yang memproduksi bir merek Anker, Carlsberg, San Miguel dan Kuda Putih ini bakal menyasar kerjasama strategis dan memaksimalkan jalur distribusi yang masih diperbolehkan.
Menurut Ronny meski dilarang memasok bir di toko ritel dan pengecer, namun konsumen masih bisa membeli produk minuman beralkohol di supermarket, hypermarket, dan juga di kawasan wisata. “Kami akan memaksimalkan jaringan distribusi di supermarket, hotel dan kafe-kafe di kawasan wisata,” jelas Ronny. Ia juga mengungkapkan, perseroan akan terus berupaya membuka dialog dengan Kementerian Perdagangan untuk menemukan solusi terbaik dalam menjual produk bir, yang notabene minuman berkadar alkohol rendah.
“Kami terus melakukan koordinasi dan dialog dengan Kementerian Perdagangan. Harapannya ada solusi terbaik bagi semua pihak,” ujarnya. Berdasarkan laporan keuangan kuartal I 2015 Delta Djakarta, perseroan mengalami penurunan penjualan sebesar 42,44 persen menjadi Rp 329,31 miliar dari penjualan periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 572,19 miliar.
Hilangnya pendapatan yang dipicu oleh diberlakukannya aturan buatan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel tersebut telah menggerus laba sebelum pajak perseroan menjadi Rp 42,27 miliar, dari sebelumnya Rp 105,92 miliar pada kuartal I 2014.
Kondisi tersebut otomatis memangkas laba bersih kuartal I 2015 Delta Djakarta menjadi Rp 33,02 miliar dari laba bersih periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 79,31 miliar. Daya beli masyarakat yang rendah ditambah saluran penjualan minuman beralkohol yang semakin sempit, membuat produsen PT Delta Djakarta Tbk tidak berani memasang target tahun ini. Manajemen perusahaan produsen bir Anker tersebut menyatakan, bisa mencapai realisasi penjualan dan laba bersih seperti tahun lalu saja sudah merupakan prestasi.
“Saya kira sulit untuk menentukan besaran target tahun ini, yang jelas kami menjaga agar minimal bisa sama seperti tahun lalu. Hal itu saja sudah bagus,” ujar Alan Fernandez, Direktur Keuangan Delta Djakarta saat paparan publik di Jakarta, Kamis (11/6). Sepanjang 2014 lalu, emiten yang 26,25 persen sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu berhasil mengantongi penjualan sebesar Rp 2,11 triliun naik 5,5 persen dibandingkan penjualan 2013 sebesar Rp 2 triliun.
Setelah dipotong cukai dan pajak penjualan sebesar Rp 1,23 triliun, beban pokok penjualan, biaya operasional, dan lain sebagainya, Delta Djakarta tercatat bisa mengantongi laba bersih sebesar Rp 282,17 miliar. Perolehan laba bersih tahun lalu naik 6,7 persen dibandingkan laba bersih 2013 sebesar Rp 264,45 miliar.
Sayangnya, pada kuartal I tahun ini, kinerja perseroan ambruk. Perseroan mengalami penurunan penjualan sebesar 42,44 persen pada kuartal I 2015 menjadi Rp 329,31 miliar, dari penjualan periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 572,19 miliar. Hal itu membuat Delta Djakarta membukukan laba sebelum pajak Rp 42,27 miliar pada kuartal I 2015, turun dari sebelumnya yang senilai Rp 105,92 miliar. Sementara itu, laba bersih turun jadi Rp 33,02 miliar dari laba bersih tahun sebelumnya yang senilai Rp 79,31 miliar.
Kebijakan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel yang melarang penjualan minuman keras dengan kandungan alkohol sampai 5 persen di minimarket dan toko pengecer mulai 16 April 2015 diyakini telah membuat seret penjualan bir perseroan. Oleh karena itu Ronny Titiheruw, Direktur Pemasaran Delta Djakarta mengatakan bakal terus mencari strategi baru untuk menyiasati Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tersebut. Salah satunya adalah dengan meningkatkan penjualan di minimarket, supermarket, restoran dan cafe, serta daerah-daerah tujuan wisata yang belum dilarang pemerintah.
Anjloknya penjualan minuman beralkohol telah dirasakan PT Delta Djakarta sejak 2014 lalu. Akibatnya, perseroan sempat menaikkan harga jual bir yang diproduksinya sekitar 10 persen di penghujung tahun. Alan Fernandez Direktur Keuangan Delta Djakarta menjelaskan, tekanan untuk mengambil opsi menaikkan harga bir mulai terasa sejak November 2014 saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Tekanan inflasi perlahan meningkat di akhir 2014 saat pemerintah menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi. Hal ini mendorong tingkat inflasi sebesar 8,4 persen,” ujar Fernandez di Jakarta, Kamis (11/6). Naiknya harga BBM secara tidak langsung menambah beban operasional Delta Djakarta, terutama untuk mendistribusikan produk minuman beralkohol yang dijualnya kepada pelanggan. Kondisi tersebut diperparah dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terdepresiasi menembus angka Rp 13 ribu per dolar.
“Hal ini berdampak pada naiknya harga bahan baku impor dan bahan lainnya. Padahal penjualan sudah terasa melambat pada semester I 2014 karena lemahnya permintaan selama masa Pemilihan Umum,” katanya. Selain beban biaya produksi dan operasi yang bertambah akibat isu ekonomi dan politik tersebut, Delta Djakarta menurut Fernandez sudah cukup menderita karena pada tahun tersebut pemerintah memberlakukan kenaikan tarif cukai sebesar 18,2 persen.
“Kami harus bayar cukai dari Rp 11 ribu per liter menjadi Rp 13 ribu per liter di awal 2014. Semua faktor tersebut yang akhirnya menyebabkan kami menaikkan harga bir di tahun lalu,” jelas Fernandez. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Delta Djakarta Tbk menyetujui pembagian dividen sebesar Rp 96,07 miliar yang berasal dari perolehan laba bersih perseroan pada 2014 serta rencana pemecahan nominal saham (stock split).
Sebagai salah satu pemegang saham dengan kepemilikan 26,25 persen, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mendapatkan bagiannya. Jika dihitung, maka Provinsi yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ini bakal memperoleh Rp 25,21 miliar. “Dalam rapat pemegang saham diputuskan pembagian dividen sebesar Rp 6 ribu per saham atau totalnya Rp 96,07 miliar. Rencananya akan dibagikan pada 15 Juli 2015,” ujar Alan Fernandez, Direktur Keuangan Delta Djakarta, Kamis (11/6).
Dana dividen tersebut diambil dari laba bersih Delta Djakarta pada 2014 sebesar Rp 282,17 miliar. Perolehan laba bersih tahun lalu tersebut naik 6,7 persen dibandingkan laba bersih 2013 sebesar Rp 264,45 miliar. Laba itu diperoleh dari penjualan pada 2014 sebesar Rp 2,11 triliun, naik 5,5 persen dibandingkan penjualan 2013 sebesar Rp 2 triliun. Laba tercatat setelah pendapatan itu dipotong cukai dan pajak penjualan sebesar Rp 1,23 triliun, beban pokok penjualan, biaya operasional, serta lainnya.
“Secara umum tahun 2014 ditandai dengan sejumlah tantangan di pasar bir yang disebabkan oleh kondisi perekonomian global dan nasional yang kurang menguntungkan. Ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen, lebih lambat dari pertumbuhan tahun 2013 sebesar 5,8 persen,” ujar Fernandez. Menurutnya, tekanan inflasi perlahan meningkat di akhir tahun 2014, pada saat pemerintah menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi, hal ini mendorong tingkat inflasi sebesar 8,4 persen.
Lebih lanjut, Fernandez menjelaskan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga terdepresiasi menembus angka Rp 13 ribu di akhir tahun, hal ini berdampak pada naiknya harga bahan baku impor dan bahan lainnya yang digunakan oleh Delta Djakarta. “Pertumbuhan industri bir melambat terlihat di semester pertama tahun 2014 karena lemahnya permintaan selama masa pemilu,” ujarnya.
Dalam RUPS tersebut, Alan juga mengungkapkan bahwa para pemegang saham menyetujui adanya pemecahan nominal saham. Hal tersebut dilakukan perseroan demi memenuhi peraturan Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait batas minimal saham publik yang beredar (free float).
Hal itu merujuk peraturan direksi BEI Nomor Kep-00001/BEI/01-2014 pada 20 Januari 2014 perihal perubahan peraturan Nomor I-A tentang pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas selain saham yang diterbitkan oleh perusahaan tercatat. Peraturan tersebut wajib dipenuhi dalam jangka waktu 24 bulan sejak ditetapkan pada 30 Januari 2014. BEI menentukan, free float minimal 50 juta saham dan minimal 7,5 persen dari jumlah saham dalam modal disetor. Sementara jumlah pemegang saham minimal 300 pemegang saham yang memiliki rekening Efek di Anggota Bursa Efek.
“Dalam RUPS sudah disetujui adanya stock split 1:50. Hal itu untuk menambah saham beredar sesuai dengan peraturan bursa yang paling lambat dilakukan pada Januari 2016,” jelas Alan. Berdasarkan data BEI, saat ini saham Delta Djakarta secara total masih sebanyak 16 juta saham, di bawah ketentuan yang dipatok minimal 50 juta saham. âAlan menjelaskan, setelah memperoleh persetujuan pemegang saham,â pihaknya bakal segera berkoordinasi dengan biro administrasi efek dan Otoritas Jasa Keuangan untuk melangsungkan rencana stock split tersebut.
“Saya kira sulit untuk menentukan besaran target tahun ini, yang jelas kami menjaga agar minimal bisa sama seperti tahun lalu. Hal itu saja sudah bagus,” ujar Alan Fernandez, Direktur Keuangan Delta Djakarta saat paparan publik di Jakarta, Kamis (11/6). Sepanjang 2014 lalu, emiten yang 26,25 persen sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu berhasil mengantongi penjualan sebesar Rp 2,11 triliun naik 5,5 persen dibandingkan penjualan 2013 sebesar Rp 2 triliun.
Setelah dipotong cukai dan pajak penjualan sebesar Rp 1,23 triliun, beban pokok penjualan, biaya operasional, dan lain sebagainya, Delta Djakarta tercatat bisa mengantongi laba bersih sebesar Rp 282,17 miliar. Perolehan laba bersih tahun lalu naik 6,7 persen dibandingkan laba bersih 2013 sebesar Rp 264,45 miliar.
Sayangnya, pada kuartal I tahun ini, kinerja perseroan ambruk. Perseroan mengalami penurunan penjualan sebesar 42,44 persen pada kuartal I 2015 menjadi Rp 329,31 miliar, dari penjualan periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp 572,19 miliar. Hal itu membuat Delta Djakarta membukukan laba sebelum pajak Rp 42,27 miliar pada kuartal I 2015, turun dari sebelumnya yang senilai Rp 105,92 miliar. Sementara itu, laba bersih turun jadi Rp 33,02 miliar dari laba bersih tahun sebelumnya yang senilai Rp 79,31 miliar.
Kebijakan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel yang melarang penjualan minuman keras dengan kandungan alkohol sampai 5 persen di minimarket dan toko pengecer mulai 16 April 2015 diyakini telah membuat seret penjualan bir perseroan. Oleh karena itu Ronny Titiheruw, Direktur Pemasaran Delta Djakarta mengatakan bakal terus mencari strategi baru untuk menyiasati Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tersebut. Salah satunya adalah dengan meningkatkan penjualan di minimarket, supermarket, restoran dan cafe, serta daerah-daerah tujuan wisata yang belum dilarang pemerintah.
Anjloknya penjualan minuman beralkohol telah dirasakan PT Delta Djakarta sejak 2014 lalu. Akibatnya, perseroan sempat menaikkan harga jual bir yang diproduksinya sekitar 10 persen di penghujung tahun. Alan Fernandez Direktur Keuangan Delta Djakarta menjelaskan, tekanan untuk mengambil opsi menaikkan harga bir mulai terasa sejak November 2014 saat pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
“Tekanan inflasi perlahan meningkat di akhir 2014 saat pemerintah menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi. Hal ini mendorong tingkat inflasi sebesar 8,4 persen,” ujar Fernandez di Jakarta, Kamis (11/6). Naiknya harga BBM secara tidak langsung menambah beban operasional Delta Djakarta, terutama untuk mendistribusikan produk minuman beralkohol yang dijualnya kepada pelanggan. Kondisi tersebut diperparah dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terdepresiasi menembus angka Rp 13 ribu per dolar.
“Hal ini berdampak pada naiknya harga bahan baku impor dan bahan lainnya. Padahal penjualan sudah terasa melambat pada semester I 2014 karena lemahnya permintaan selama masa Pemilihan Umum,” katanya. Selain beban biaya produksi dan operasi yang bertambah akibat isu ekonomi dan politik tersebut, Delta Djakarta menurut Fernandez sudah cukup menderita karena pada tahun tersebut pemerintah memberlakukan kenaikan tarif cukai sebesar 18,2 persen.
“Kami harus bayar cukai dari Rp 11 ribu per liter menjadi Rp 13 ribu per liter di awal 2014. Semua faktor tersebut yang akhirnya menyebabkan kami menaikkan harga bir di tahun lalu,” jelas Fernandez. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Delta Djakarta Tbk menyetujui pembagian dividen sebesar Rp 96,07 miliar yang berasal dari perolehan laba bersih perseroan pada 2014 serta rencana pemecahan nominal saham (stock split).
Sebagai salah satu pemegang saham dengan kepemilikan 26,25 persen, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mendapatkan bagiannya. Jika dihitung, maka Provinsi yang dipimpin Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ini bakal memperoleh Rp 25,21 miliar. “Dalam rapat pemegang saham diputuskan pembagian dividen sebesar Rp 6 ribu per saham atau totalnya Rp 96,07 miliar. Rencananya akan dibagikan pada 15 Juli 2015,” ujar Alan Fernandez, Direktur Keuangan Delta Djakarta, Kamis (11/6).
Dana dividen tersebut diambil dari laba bersih Delta Djakarta pada 2014 sebesar Rp 282,17 miliar. Perolehan laba bersih tahun lalu tersebut naik 6,7 persen dibandingkan laba bersih 2013 sebesar Rp 264,45 miliar. Laba itu diperoleh dari penjualan pada 2014 sebesar Rp 2,11 triliun, naik 5,5 persen dibandingkan penjualan 2013 sebesar Rp 2 triliun. Laba tercatat setelah pendapatan itu dipotong cukai dan pajak penjualan sebesar Rp 1,23 triliun, beban pokok penjualan, biaya operasional, serta lainnya.
“Secara umum tahun 2014 ditandai dengan sejumlah tantangan di pasar bir yang disebabkan oleh kondisi perekonomian global dan nasional yang kurang menguntungkan. Ekonomi Indonesia tumbuh 5 persen, lebih lambat dari pertumbuhan tahun 2013 sebesar 5,8 persen,” ujar Fernandez. Menurutnya, tekanan inflasi perlahan meningkat di akhir tahun 2014, pada saat pemerintah menaikkan harga BBM untuk mengurangi subsidi, hal ini mendorong tingkat inflasi sebesar 8,4 persen.
Lebih lanjut, Fernandez menjelaskan, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga terdepresiasi menembus angka Rp 13 ribu di akhir tahun, hal ini berdampak pada naiknya harga bahan baku impor dan bahan lainnya yang digunakan oleh Delta Djakarta. “Pertumbuhan industri bir melambat terlihat di semester pertama tahun 2014 karena lemahnya permintaan selama masa pemilu,” ujarnya.
Dalam RUPS tersebut, Alan juga mengungkapkan bahwa para pemegang saham menyetujui adanya pemecahan nominal saham. Hal tersebut dilakukan perseroan demi memenuhi peraturan Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait batas minimal saham publik yang beredar (free float).
Hal itu merujuk peraturan direksi BEI Nomor Kep-00001/BEI/01-2014 pada 20 Januari 2014 perihal perubahan peraturan Nomor I-A tentang pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas selain saham yang diterbitkan oleh perusahaan tercatat. Peraturan tersebut wajib dipenuhi dalam jangka waktu 24 bulan sejak ditetapkan pada 30 Januari 2014. BEI menentukan, free float minimal 50 juta saham dan minimal 7,5 persen dari jumlah saham dalam modal disetor. Sementara jumlah pemegang saham minimal 300 pemegang saham yang memiliki rekening Efek di Anggota Bursa Efek.
“Dalam RUPS sudah disetujui adanya stock split 1:50. Hal itu untuk menambah saham beredar sesuai dengan peraturan bursa yang paling lambat dilakukan pada Januari 2016,” jelas Alan. Berdasarkan data BEI, saat ini saham Delta Djakarta secara total masih sebanyak 16 juta saham, di bawah ketentuan yang dipatok minimal 50 juta saham. âAlan menjelaskan, setelah memperoleh persetujuan pemegang saham,â pihaknya bakal segera berkoordinasi dengan biro administrasi efek dan Otoritas Jasa Keuangan untuk melangsungkan rencana stock split tersebut.
No comments:
Post a Comment