Monday, June 8, 2015

Ratifikasi FCTC Akan Mematikan Industri Rokok Nasional

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mendukung langkah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang tidak meratifikasi aturan antitembakau buatan World Health Organization (WHO), Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sesuai ketentuan FCTC, jika Indonesia sebagai anggota WHO turut meratifikasi aturan tersebut maka rokok beraroma seperti rokok kretek tidak dibolehkan untuk diproduksi bahkan harus dibasmi. Sebab rokok kretek diyakini WHO memicu orang untuk memulai merokok.

“Padahal sejak berabad lalu perokok Indonesia sudah terbiasa dengan rokok kretek yang mengandung cengkeh. Karena itu kalau kita meneken FCTC pasti akan memukul industri rokok kretek. Hal itu tentu akan merugikan negara, para petani tembakau, pekerja di pabrik rokok, dan pelaku industri hasil tembakau,” ujar Sekretaris Jenderal Gappri Hasan Aoni Aziz di Jakarta, Senin (8/6).

Oleh karena itu, Gappri menurut Hasan mendukung sikap pemerintah Indonesia yang tidak menandatangani FCTC. Sejak Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia tidak pernah meratifikasi FCTC. Menurut Hasan, Amerika Serikat yang mensponsori FCTC saja tidak ikut meratifikasi aturan tersebut. “Ada 18 juta orang mulai dari hulu hingga hilir yang hidup dari industri rokok kretek di Indonesia. Itu bukan angka yang sedikit jika dikaitkan dengan sisi perekonomian. Meski belum meratifikasi FTCT, tapi 95 persen pelaku industri sudah melaksanakannya,” kata Hasan.

Hasan menambahkan bahwa FCTC dan aturan-aturan anti rokok lainnya mempersepsikan bahwa perokok adalah orang yang mesti diatur, bahkan mesti disingkirkan dalam ruangan merokok yang sempit. Aturan tersebut juga menjadikan seorang perokok seperti orang pesakitan yang mesti diterapi oleh klinik dan terapi penyembuhan merokok. Di sisi ini, kata Hasan, suasana bisnis farmasi sangat kental dalam isu FCTC. Dengan membuat klaim bahwa rokok merusak kesehatan, mereka menjual produk penyembuhan dari rokok.

“Di satu sisi, ada kampanye anti rokok. Di sisi lain, ada bisnis jualan obat berhenti merokok. Itu keterkaitan yang tak bisa dipisahkan karena FCTC lahir diinisiasi oleh perusahaan farmasi global," ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Hasan mengkritik kalangan perguruan tinggi yang dinilainya gagal bersikap objektif dalam menyikapi perdebatan FCTC di Indonesia. Sikap berpihak itu menurutnya tampak dalam sebuah diskusi yang digelar salah satu Universitas Islam di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Minggu (7/6) kemarin.  Dalam undangan awal diskusi tersebut, panitia mengundang sejumlah tokoh dari Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, perwakilan Kementerian Luar Negeri, perwakilan Kementerian Perindustrian, Gappri, dan perwakilan mahasiswa.

Namun, menjelang kegiatan berlangsung, komposisi pembicara berubah setelah perwakilan pemerintah tidak hadir. Panitia kemudian membatalkan Hasan dari daftar pembicara seminar tersebut meskipun sudah datang ke tempat acara.“Seminggu sebelum acara saya sudah siapkan bahan yang dibutuhkan. Seharusnya forum ilmiah seperti ini objektif, bukan hanya mendukung pihak yang antitembakau,” kata Hasan.

Pemerintah Amerika Serikat kembali membuka pintu impor bagi produk rokok non-mentol dan kretek asal Indonesia yang sempat terhenti sejak Juni 2009 lalu. Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi menjelaskan, pemerintah kedua negara telah menandatangani Memorandum of Understanding(MoU) untuk menutup kasus tersebut dan bersepakat mengakomodasi kepentingan kedua negara.

Bachrul menjelaskan, hal tersebut merupakan tindak lanjut dari keputusan dispute settlement bodyWorld Trade Organization (WTO) yang pada September 2011 lalu memutuskan Amerika Serikat bersalah karena melarang penjualan rokok beraroma dan mengandung rasa kecuali rasa menthol.

Diterbitkannya larangan tersebut karena Pemerintah Amerika Serikat ingin menekan minat anak-anak untuk merokok akibat bau wangi yang ditimbulkan rokok beraroma, sementara penjualan rokok menthol yang menurut Indonesia juga beraroma tidak dilarang. Akibat kebijakan tersebut Indonesia tidak lagi bisa mengekspor rokok kretek ke Amerika Serikat yang pada 2009 lalu bernilai US$ 7,5 juta. "Kesepakatan yang telah tercapai ini tidak akan menghapus fakta bahwa Amerika Serikat telah melanggar perjanjian WTO," ujar Bachrul dalam siaran pers, Selasa (7/10).

Rencananya pada 27 Juni 2014 lalu, WTO akan mengumumkan keputusan arbitrator terkait arbitrasi kasus rokok kretek Indonesia karena tidak ada response dari pihak Amerika Serikat untuk mencabut larangan impor rokok kretek. Namun pihak Indonesia dan Amerika Serikat sepakat untuk meminta penundaan pengumuman keputusan arbitrator ke publik dan mencari jalan penyelesaian terbaik.

Beberapa poin yang disepakati dan disebutkan dalam MoU bersama tersebut adalah:

Pertama, Pemerintah Amerika Serikat akan memberikan tambahan fasilitas generalized system of preference (GSP) yang melebihi nilai batas tertentu selama lima tahun berikutnya dan akan mempertimbangkan permintaan atas produk ekspor lainnya dari Indonesia. GSP adalah akses khusus yang diberikan bagi produk industri dan pertanian dari negara berkembang untuk masuk ke pasar negara maju.

Kedua, Pemerintah Amerika Serikat berjanji dan sepakat untuk tidak mengadukan kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan mineral yang diterapkan Indonesia, serta tidak akan mengganggu akses pasar produk cigars dan cigarillos buatan Indonesia ke pasar Amerika Serikat sampai ada pengaturan lebih lanjut yang tidak akan bersifat arbitrary atau diskriminatif membeda-bedakan produk sehingga merugikan.

Ketiga, Pemerintah Amerika Serikat akan membantu Indonesia untuk memperbaiki penegakan hak kekayaan intelektual (HKI) agar Indonesia mendapatkan status lebih baik dalam hal penegakan HKI.

"Dengan diakhirinya kasus rokok kretek ini, maka kedua negara akan mengintesifkan kerja sama perdagangan dan investasi dalam kerangka Indonesia-US Trade and Investment Framework Arrangement (TIFA) sehingga positif bagi hubungan jangka panjang yang lebih baik," kata Bachrul.

Belum diperoleh komentar dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) atas terbukanya kembali peluang ekspor rokok kretek ke Amerika Serikat. Hasan Aoni Aziz, Sekretaris Jenderal GAPPRI yang dihubungi tidak membalas panggilan telepon dan sms.

No comments:

Post a Comment