Tuesday, June 16, 2015

Neraca Perdagangan Surplus Besar Karena Penurunan Impor Akibat Jatuhnya Industri Manufaktur Nasional

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang P.S. Brodjonegoro menduga pelemahan industri manufaktur menjadi salah satu pemicu penurunan impor pada Mei lalu. Namun, dia menilai menurunnya impor tak selalu negatif karena selain turut meningkatkan surplus neraca perdagangan Indonesia bisa juga menggambarkan subtitusi ke produk lokal yang tumbuh. "Mungkin karena ada penurunan pertumbuhan manufaktur. Tapi jangan setiap penurunan impor dikaitkan dengan penurunan kegiatan. Kalau impor berkurang bisa juga karena produk lokal yang dibeli," ujar Bambang di Kementerian Keuangan, Senin (15/6).

Menurutnya, selama ini banyak industri yang memilih menggunakan produk impor, misalnya untuk bahan baku penolong atau barang modal. Padahal, sebenarnya banyak produk lokal yang memiliki kualitas tak kalah dengan barang impor. "Nah dengan kurs yang melemah, ini mungkin yang diimpor jadi mahal sehingga barang lokal jadi lebih menarik," tuturnya.

Selain itu, lanjut Menkeu, meningkatnya surplus neraca perdagangan seiring dengan penurunan impor disebabkan pula oleh kebijakan pemerintah mengurangi impor minyak dan gas. Langkah itu dinilai penting untuk memperbaiki fundamental ekonomi nasional. "Jadi lihat juga dari sisi itu, jangan semata-mata (penurunan impor) karena tidak ada kegiatan," tuturnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia kembali mencatatkan surplus untuk yang kelima kalinya pada Mei sebesar US$ 950 juta menyusul penurunan ekspor yang diimbangi menyusutnya impor. Ekspor pada bulan lalu tercatat sebesar US$ 12,56 miliar atau turun 4,11 persen dari nilai April, sedangkan impor US$11,61 miliar atau minus 8,05 persen.

Secara keseluruhan, dalam lima bulan pertama 2015 NPI mencatatkan surplus US$ 3,75 miliar, yang merupakan selisih antara nilai ekspor US$ 64,72 miliar dan impor US$ 60,97 miliar. Pertumbuhan ekspor tahun kalender tercatat minus 7,15 persen, sedangkan impor turun 9,68 persen.

Faktanya, seluruh jenis atau kelompok barang yang diimpor mengalami penurunan selama Januari-Mei 2015. Impor bahan baku/penolong tercatat turun lebih dari 18 persen menjadi US$ 46,1 miliar dari US$ 56,86 miliar pada Januari-Mei 2015. Sementara impor barang modal minus 14,6 persen, dari US$ 12,26 miliar jadi US$ 10,47 miliar. Demikian pula dengan impor barang konsumsi negatif 14,4 persen, dari US$5,14 miliar menjadi US$ 4,4 miliar.

Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) kembali mencatatkan surplus untuk kelima kalinya secara beruntun sampai Mei 2015 sebesar US$ 950 juta meski nilai ekspor mengalami penyusutan. Secara kumulatif total surplus NPI yang dicatat selama Januari-Mei 2015 adalah sebesar US$ 3,75 miliar. "Surplus tercipta karena penurunan ekspor diikuti pula dengan penurunan impor. Ini merupakan surplus yang kelima sejak Januari lalu," tutur Suryamin, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) di kantornya, Senin (15/6).

BPS mencatat nilai impor Indonesia pada Mei sebesar US$ 11,61 miliar turun 8,05 persen dibandingkan April. Namun jika dibandingkan nilai impor Mei 2014 yang mencapai US$ 14,77 miliar, impor bulan lalu anjlok 21,4 persen. Sementara nilai ekspor Mei tercatat turun 4,11 persen dibanding bulan sebelumnya, dengan nilai US$ 12,56 miliar. Apabila dibandingkan dengan Mei 2014, ekspor turun 15,24 persen pada bulan lalu.

Secara kumulatif, impor Januari-Mei mencapai US$ 60,97 miliar atau minus 17,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Demikian pula dengan ekspor Januari-Mei turun 11,84 persen menjadi US$ 64,72 miliar. Suryamin merinci, hingga Mei neraca migas tercatat masih defisit sebesar US$ 1,98 miliar, sedangkan dari sisi nonmigas surplus sebesar US$ 5,7 miliar. Di Asean, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus US$ 464,7 miliar.

Namun jika dirinci per negara, NPI masih defisit US$ 1,4 miliar dengan Thailand. Begitu pula dengan Uni Eropa, posisi terakhir NPI surplus US $1,5 miliar. Namun dengan Jerman, NPI tercatat defisit US$ 418 juta.  Defisit NPI juga terjadi tehadap Tiongkok sebesar US$ 6,67 miliar, Australia minus US$ 1,04 miliar dan Korea Selatan negatif US$ 501 juta. "Dengan Australia defisit karena ekspor gandum dan sapi meningkat," tutur Suryamin.

No comments:

Post a Comment