Bank Indonesia (BI) menilai nilai tukar rupiah yang semakin melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) membuat nilainya terlalu murah dibandingkan dengan mata uang negara lain yang juga terdepresiasi. Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo menjelaskan indikasinya bisa dilihat dari nilai rupiah saat ini yang berada di bawah nilai Riil Effective Exchange Rate (REER) atau undervalue.
"Kalau dilihat REER, memang rupiah ada di bawah 100. Itu menunjukkan slidely undervalue dibanding currency-currency negara mitra utama kita," ujar Agus saat ditemui usai menggelar acara Halal Bihalal di Gedung BI Pusat, Rabu (22/7).
Pada sesi perdagangan siang ini, Rabu (22/7), rupiah bergerak di kisaran Rp 13.358 per dolar AS, menguat sedikit dibandingkan dengan posisi penutupan perdagangan sebelum libur lebaran, Kamis (16/7) yang sebesar Rp 13.345 per dolar AS. Agus menilai ada hikmah yang bisa diambil dari murahnya rupiah saat ini. Kondisi ini dinilai cukup baik untuk meningkatkan daya saing usaha khususnya ekspor.
"Ini mencerminkan kita punya usaha yang memungkinkan untuk daya saing, tapi infrastruktur harus diperbaiki, minat inveatasi harus direalisasikan, jadi bisa memperbaiki ekspor walaupun harga komditas turun," ujarnya. Untuk memacu ekonomi, lanjut Agus, pemerintah diharapkan segera mengeksekusi proyek-proyek infrastrukturnya guna memaksimalkan penyerapan anggaran.
Bank Indonesia mencatat aliran masuk modal asing ke pasar keuangan Indonesia pada paruh pertama 2015 mencapai US$ 4,7 miliar. Kendati demikian, hal itu tak cukup meredam kejatuhan rupiah terhadap dolar AS. "Di sisi neraca finansial, aliran masuk modal asing mengalami peningkatan, meskipun pasar keuangan global masih diliputi ketidakpastian," jelas Tirta Segara, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI melalui keterangan tertulis, Selasa (14/7).
Untuk neraca perdagangan Indonesia, BI meyakini akan kembali surplus pada Juni 2015, terutama ditopang oleh surplus neraca nonmigas. Surplus neraca perdagangan tersebut mendorong perbaikan defisit transaksi berjalan pada triwulan II 2015 yang diperkirakan akan lebih baik dari prakiraan sebelumnya yaitu 2,5 persen dari PDB, dan lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 3,9 persen dari PDB.
"Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir Juni 2015 tercatat sebesar US$ 108 miliar dolar AS atau setara dengan 7 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," tutur Tirta. Sayangnya, BI melihat rupiah masih terus melemah terhadap mata uang Negeri Paman Sam karena dipengaruhi faktor eksternal. Pada Juni 2015, rupiah secara rata-rata terdepresiasi sebesar 1,28 persen dibandingkan dengan posisi bulan sebelumnya (mtm) ke level Rp 13.311 per dolar AS.
"Dari sisi eksternal, sentimen terhadap rupiah dipengaruhi oleh kekhawatiran terhadap negosiasi penyehatan fiskal Yunani menjelang jatuh tempo pembayaran utang dan antisipasi investor terhadap arah kebijakan the Fed pada pertemuan FOMC (Pertemuan Komisi Pasar Bebas Federal AS) Juni 2015," jelasnya. Dari sisi internal, BI menilai meningkatnya permintaan valas untuk pembayaran utang dan pembayaran deviden secara musiman di kuartal II 2015 turut memberikan tekanan terhadap rupiah
No comments:
Post a Comment