Friday, July 31, 2015

Laba Bersih KFC Milik Fast Food Indonesia Tbk Terjun Bebas Diangka 51,43 Persen

Pemegang franchise Kentucky Fried Chicken (KFC), PT Fast Food Indonesia Tbk mencatatkan pelemahan kinerja pada paruh pertama tahun ini. Laba bersih perseroan anjlok 51,43 persen menjadi Rp 26,76 miliar pada semester I 2015 karena melonjaknya beban, salah satunya kerugian penghapusan biaya renovasi.

Berdasarkan laporan keuangan perseroan pada Jumat (31/7), pendapatan Fast Food sebenarnya naik tipis menjadi Rp 2,085 triliun pada paruh pertama tahun ini, dari Rp 2,008 triliun pada semester I 2014. Sementara beban pokok penjualan juga naik tipis menjadi Rp 806,13 miliar, dari Rp 805,59 miliar.

Dalam hal ini, laba kotor Fast Food masih naik tipis menjadi Rp 1,27 triliun pada semester I 2015, dari Rp 1,20 triliun pada paruh pertama 2014.  Namun, beban Fast Food yang lainnya juga tercatat menanjak. Hal inilah yang pada akhirnya membuat performa perseroan melemah. Tercatat, beban penjualan dan distribusi perseroan naik menjadi Rp 1,03 triliun, dari Rp 942,22 miliar.

Lebih lanjut, beban umum dan administrasi Fast Food juga naik menjadi Rp 235,63 miliar pada paruh pertama 2015, dari Rp 208,01 miliar. Namun, yang tercatat naik cukup tinggi adalah beban operasi lainnya. Pos tersebut naik 79 persen menjadi Rp 3,07 miliar, dari Rp 1,71 miliar.

Dalam rinciannya, beban operasi lainnya yang terbesar adalah kerugian penghapusan biaya renovasi bangunan sewa ditangguhkan yang mencapai Rp 2,19 miliar. Jumlah tersebut tercatat naik 123,14 persen dari Rp 982,1 miliar pada semester I 2014. Kendati terdapat penaikan pendapatan operasi lainnya mencapai Rp 20,48 miliar dari Rp 14,77 miliar, laba usaha Fast Food tidak mampu tumbuh positif. Laba usaha perseroan turun 61,95 persen menjadi Rp 24,97 miliar dari Rp 65,65 miliar.

Laba sebelum pajak Fast Food juga terseret turun menjadi Rp 30,13 miliar dari Rp 68,77 miliar. Kendati beban pajak penghasilan turun tajam 75 persen menjadi Rp 3,45 miliar, laba periode berjalan Fast Food tetap saja meluncur 51,43 persen menjadi Rp 26,76 miliar pada semester I 2015. Dari sisi aset, hingga Juni 2015 Fast Food mampu mencatatkan nilai Rp 2,37 triliun, naik dari Rp 2,16 triliun di posisi Desember 2014. Sementara itu, liabilitas perseroan mencapai Rp 1,11 triliun, sedangkan ekuitas tercatat Rp 1,15 triliun.

Sebelumnya, Fast Food berencana menambah 49 gerai KFC baru sepanjang tahun ini dengan fokus di wilayah timur nusantara. "Kami akan membuka 49 gerai baru, tetapi kami juga mau atau menutup 9 gerai. Jadi sebenarnya akan ada tambahan 40 gerai tahun ini," ungkap Direktur Fast Food Indonesia J. Dalimin Juwono, belum lama ini. Terkait gerai yang ditutup, Dalimin menyatakan hal tersebut dilakukan karena beberapa alasan. Dia menilai selain ada yang tidak berkinerja sesuai, beberapa di antaranya juga telah habis masa sewa tempat.

“Ada juga yang sewanya kemahalan dan kita putuskan berhenti. Yang performanya tidak sesuai kita tutup lalu kita alihkan. Kami juga terus mencari daerah baru yang daya belinya tinggi,” jelasnya. Menanggapi pelemahan kinerja Fast Food, Kepala Riset PT NH Korindo Securities Reza Priyambada mengatakan tantangan bisnis makanan dan minuman yang padat karya memang berat. Selain penaikan beban gaji dan tunjangan, biaya sewa gerai dan tarif listrik juga bisa menghambat pertumbuhan.

“Termasuk kalau mereka membangun gerai di suatu tempat, mal atau pusat perbelanjaan. Jika termpat tersebut gagal dibuka, sementara KFC sudah set up, maka hal itu jadi kerugian juga buat mereka,” ujarnya.  PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menilai pelemahan rupiah tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja PT Fast Food Indonesia Tbk selaku pemegang franchise restoran cepat saji asal Amerika Serikat, Kentucky Fried Chicken (KFC). Oleh karena itu, Pefindo tidak ragu mengganjar rating id-AA untuk Fast Food.

Analis Pefindo Mega Dwitya Nugroho mengatakan pelemahan rupiah kemungkinan hanya memberikan imbas yang cukup besar bagi impor mesin produksi makanan yang dioperasikan Fast Food. Imbas pelemahan rupiah mungkin lebih ke impor mesin, karena setiap membuka gerai baru memang perlu mendatangkan mesin dari luar negeri. Selain itu ada juga impor kentang goreng,” ujar Mega di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (29/7).

Namun, menurutnya secara umum hal itu tidak memberi imbas yang signifikan bagi kinerja Fast Food. Mega menilai, perseroan juga berencana menaikkan harga jual guna menutupi hal tersebut. “Kenaikan harga jual itu salah satu opsi terakhir manajemen. Mereka menyadari bahwa kompetisi saat ini sedang intens,” jelasnya. Lebih lanjut, Mega mengungkapkan Pefindo menyematkan rating id-AA untuk peringkat Fast Food dan obligasi perseroan pada 2011 dengan outlook stabil. Periode pemeringkatan tersebut ditetapkan mulai 3 Juli 2015 hingga 1 Juli 2016.

“Faktor-faktor pendukung peringkat yang pertama adalah posisi pasar Fast Food yang kuat di segmen restoran cepat saji berbahan dasar ayam di Indonesia,” kata Mega. Kedua, lanjutnya, adalah karena lokasi outlet yang terdiversifikasi dengan baik secara geografis. Kemudian yang ketiga adalah profil keuangan yang sangat kuat, salah satunya adalah posisi utang perseroan yang baik tanpa ada penaikan yang signifikan.

“Sementara faktor-faktor yang membatasi peringkat adalah salah satunya karena persaingan yang ketat di industri restoran,” katanya. Menurutnya peringkat dapat diturunkan jika terdapat penurunan pendapatan perusahaan yang sangat signifikan dibandingkan dengan target, revisi yang bersifat negatif atas perjanjian waralaba dan pelemahan struktur permodalan secara drastis.

“Peringkat juga bisa tertekan jika marjin laba sebelum bunga, pajak dan amortisasi (EBITDA) terus turun, yang kemudian dapat memperlemah proteksi arus kas,” jelasnya. Di sisi lain, Mega menilai peringkat dapat ditingkatkan jika terjadi kenaikan pendapatan dan perbaikan laba operasi yang signifikan dan berkelanjutan dengan kebijakan keuangan yang tetap konservatif.

Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan Fast Food Indonesia J. Dalimin Juwono menyatakan bakal menaikkan harga jual karena pelemahan rupiah dan juga adanya inflasi. Meski begitu, dia menyatakan masih terus melihat kondisi daya beli masyarakat. “Mungkin harga jual akan kami naikkan sekitar 3-5 persen. Kita lihat terus daya beli masyarakat terkait hal ini,” ungkapnya usai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) belum lama ini.

Dari sisi kinerja, seperti diketahui, emiten berkode saham FAST tersebut membukukan laba bersih pada 2014 sebesar Rp 152,05 miliar. Laba bersih tersebut turun sebesar 2,71 persen dibandingkan dengan raupan 2013 senilai Rp 156,29 miliar.

Padahal, penjualan perseroan mengalami kenaikan dari Rp 3,96 triliun pada 2013 menjadi Rp 4,21 triliun di 2014. Penjualan makanan dan minuman masih memberikan konstribusi terbesar di tahun 2014 dan 2013 masing sebesar Rp 4,14 triliun dan Rp 3,84 triliun. Sementara itu pendapatan lainnya sebesar Rp 71,96 miliar pada 2014 dan mencapai Rp 123,30 miliar di tahun sebelumnya.

No comments:

Post a Comment