Thursday, July 23, 2015

Jokowi Beri Prioritas Bagi Pebisnis Untuk Kuasai Sumber Mata Air

Pemerintah dan pengusaha tak tinggal diam dengan dibatalkannya UU Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air, yang berimplikasi pada pelarangan swasta berbisnis air. Kedua pemangku kepentingan itu bermufakat untuk tetap mempriotaskan sektor usaha sebagai pengelola utama sumber daya air.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman mengungkapkan kesepakatan ini dihasilkan beberapa saat sebelum hari raya Idul Fitri dalam pembahasan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sumber Daya Air (RPP SDA).

Sebelumnya, dalam RPP SDA yang tengah disusun pemerintah, swasta menduduki prioritas terbawah dalam pengelolaan air setelah publik, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Namun, kesepakatan baru telah dicapai pemerintah dengan pengusaha dimana sektor usaha pengguna air sebagai bahan baku kembali diprioritaskan sebagai salah satu pengelola utama sumber daya air.

"Dalam kesepakatan terakhir, akhirnya RPP SDA itu kembali menempatkan sektor usaha sebagai salah satu prioritas penggunaan air. Kami senang akan hal ini, karena kita juga tak perlu cemas akan kelangsungan produksi minuman kita," jelas Adhi di Jakarta, Kamis (23/7).

Kendati demikian, Adhi tak membeberkan lebih jauh mengenai perubahan poin prioritas tersebut. Selain itu, Adhi pun tak tahu persis kapan RPP ini bisa keluar. "Semoga kita harap RPP SDA ini keluar secepatnya, karena kita juga belum ada infonya. Tapi yang pasti, kini pemerintah telah kembali memerbolehkan industri untuk mengelola air dimana pada rancangan RPP sebelumnya kita ada di lapisan prioritas terbawah," katanya.

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga menginginkan adanya prioritas penggunaan air bersih bagi industri menyusul pembatalan UU Nomor 7 tahun 2004 oleh Mahkamah Konstitusi. Skala prioritas tersebut diperjuangkan Apindo agar investasi asing di Indonesia tidak terhambat.

Bahkan, Apindo mengatakan bahwa salah satu perusahaan minuman asing, PT Coca Cola Amatil Indonesia yang rencananya akan menggelontorkan US$ 500 juta untuk perluasan investasi, kini harus pikir-pikir lagi dalam menggunakan uang tersebut. "Selain Coca Cola, American Chamber of Commerce (Amcham) dan European Chamber of Commerce (Eurocham) yang jumlah anggotanya ratusan juga mempertanyakan rencana implementasi poin di dalam RPP SDA tersebut," jelas Juru Bicara Forum Komunikasi Pengguna Air (FKPA), Rahmat Hidayat pada bulan lalu.

Sebagai informasi, data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2014 mengatakan bahwa penggunaan air untuk industri per tahunnya hanya sebesar 27 miliar meter kubik per tahun, atau sebanyak 3,9 persen dari potensi pemanfaatan air secara total di Indonesia yang mencapai 691 miliar meter kubik per tahun

Pasca dibatalkannya Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2014 tentang sumber daya air, UU yang mengatur tentang pengelolaan air kini kembali ke UU Nomor 11 tahun 1974. Namun UU tersebut tak mengatur tentang industri yang bergerak di bidang pengusahaan air.

Demi mengatur hal itu, pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Sumber Daya Air (RPP SDA) yang berisi tentang ketentuan pengelolaan hulu air dan RPP Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang mengatur pengelolaan hilir air. Khusus di dalam RPP SDA tersebut, pihak swasta menduduki prioritas terbawah dalam pengelolaan air setelah publik, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Namun, pengusaha menyesalkan salah satu poin RPP SDA yang menyatakan bahwa perusahaan swasta yang didirikan modal asing tak boleh mengelola pengusahaan air. uru Bicara Forum Komunikasi Pengguna Air (FKPA) Rahmat Hidayat mengatakan bahwa hal tersebut melanggar UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dimana UU tersebut menyebutkan tak ada perlakuan berbeda antara perusahaan asing dan dalam negeri dalam berinvestasi.

"Secara eksplisit, di dalam RPP SDA tersebut disebutkan bahwa badan swasta asing tidak boleh mengelola pengusahaan air. Tapi RPP ini kan bukan mengatur darimana asal modalnya, dan di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi, poin ini justru malah menghambat investasi dan melanggar hukum," terang Rahmat di Jakarta, Kamis (18/6).

Bahkan, ia mengatakan sudah ada beberapa calon investor maupun rencana investasi asing yang ragu-ragu untuk memperluas investasinya di Indonesia. Ia mencontohkan perusahaan minuman berkarbonasi PT Coca Cola Amatil Indonesia yang rencananya akan menggelontorkan US$ 500 juta untuk perluasan investasi, kini harus pikir-pikir lagi dalam menggunakan uang tersebut.

"Selain Coca Cola, American Chamber of Commerce (Amcham) dan European Chamber of Commerce (Eurocham) yang jumlah anggotanya ratusan juga mempertanyakan rencana implementasi poin di dalam RPP SDA tersebut," jelasnya. Selain poin RPP yang tidak memperbolehkan penggunaan modal asing, Rahmat juga menyesalkan status swasta yang ditaruh sebagai prioritas terbawah dalam pengelolaan air. Padahal menurutnya, penggunaan air bagi industri hanya sebesar empat persen dari total potensi pemanfaatan air di Indonesia.

Menurut data yang dimilikinya, potensi pemanfaatan air secara total di Indonesia mencapai 691 miliar meter kubik per tahun, sedangkan kebutuhan air bagi industri per tahunnya hanya sebesar 27 miliar meter kubik per tahun. Dengan demikian, ia mengatakan bahwa masih banyak ruang bagi pemerinah untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya air tanpa harus mengesampingkan industri.

"Ini tidak rasional karena pelimpahan air dari industri tidak dapat memenuhi kebutuhan publik, BUMN, dan BUMD karena proporsi kita cuma empat persen. Memang penggunaan air adalah hak asasi manusia, tapi kan tidak harus membunuh semua industri," jelas Rahmat.

Rahmat mengakui bahwa sebelumnya ia juga diundang oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) untuk membahas poin ini, namun ia mengatakan bahwa instansi yang dipimpin oleh Basuki Hadimuljono sama sekali tidak meminta pendapat dari pengusaha. "Kami diundang ke sana hanya formalitas saja. Dan untungnya sekarang RPP-nya belum disetujui," terang Rahmat.

No comments:

Post a Comment