Kementerian Perdagangan akan membatasi impor produk tesktil dan produk turunannya (TPT) bermotif batik mulai Oktober 2015 guna melindungi industri batik nasional. Rencana ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Batik dan TPT Motof Batik. Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel menjelaskan peraturan ini dibuat untuk mengurangi impor batik yang jumlahnya naik setiap tahun. Selain itu, kebijakan ini juga untuk melindungi industri batik nasional yang menyerap tenaga kerja sebanyak 1,3 juta orang pada tahun ini.
"Industri kain, baik itu tekstil biasa maupun batik, memiliki penyerapan tenaga kerja yang banyak. Apalagi sektor ini mampu menggerakkan ekonomi di daerah dan desa-desa. Untuk melindungi produk ini, maka kami putuskan untuk berlakukan kebijakan ini," jelas Rachmat di kantornya, Kamis (30/7).
Ia sangat menyayangkan, batik yang merupakan warisan budaya asli Indonesia justru pasarnya didominasi oleh produk impor. Ia berharap, pengetatan impor ini juga bisa berdampak baik bagi mental generasi muda untuk mencintai produk Indonesia. "Memang harus direstriksi karena kalau impor terus, cucu cicit kita tidak akan paham kalau produk-produk itu kebanggaan Indonesia," ujar Rachmat.
Dalam Permendag tersebut disebutkan, produk tekstil bermotif batik yang akan diatur impornya adalah tekstil yang paling sedikit memiliki dua warna. Selain itu, hanya importir terdaftar (IT) yang boleh mengimpor TPT batik dan motif batik.
Dengan demikian, importir harus mengajukan Izin Usaha Industri, Angka Pengenal Importir, Nomor Identitas Kepabeanan, dan Nomor Pokok Wajib Pajak untuk bisa memiliki izin impor produk tersebut. itu. "Selain itu, importir harus mendapatkan rekomendasi Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan UKM apabila ingin memperoleh persetujuan impor batik dan produk turunannya. Jika ada yang melanggar peraturan tersebut walaupun sudah ada izin impor, ya izin impornya bisa kita cabut," jelas Rachmat.
Tak hanya itu, pemerintah juga akan membatasi pintu keluar TPT batik yaitu hanya boleh dari Pelabuhan Belawan di Sumatera Utara, Tanjung Perak di Jawa Timur, dan Soekarno-Hatta di Sulawesi Utara. Sedangkan pelabuhan udara yang memperbolehkan hanya Bandara Soekarno-Hatta di Banten.
Ditemui terpisah, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian, Harjanto mengatakan instansinya akan lebih selektif dalam melihat peruntukkan produk impor sebelum pihaknya memberikan rekomendasi impor batik tersebut. Ia mengatakan, rekomendasi impor atas TPT batik akan diberikan Kemenperin jika produk tersebut dijadikan sebagai salah satu input industri.
"Jika peruntukkan produk batik bisa menambah value added industri kita, kita bisa berikan rekomendasi atas izin impor itu. Namun jika peruntukkan produk itu adalah sebagai bahan konsumsi langsung seperti baju dan barang olahan batik lain, kita tidak akan mudah memberikan rekomendasi tersebut," tutur Harjanto.
Kemendag mencatat impor TPT batik dan motif batik sejak 2012 hingga 2014 meningkat sebesar 17,9 persen, dari US$ 78,89 juta menjadi US$ 87,14 juta. Sementara itu, impor TPT batik pada triwulan pertama 2015 tercatat sebesar US$ 34,91 juta atau naik sebesar 24,1 persen jika dibandingkan realisasi periode yang sama tahun sebelumnya US$ 28,13 juta
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendukung rencana pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag), untuk mengeluarkan aturan mengenai larangan impor tekstil berbasis budaya Indonesia, misalnya batik dan songket. “Kalau menurut saya itu bagus,” ujar Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani ketika ditemui usai menandatangani nota kesepahaman antara Apindo dan Kemendag di kantor Kemendag, Senin (13/4).
Hariyadi menyebutkan Malaysia telah lebih dulu mengeluarkan aturan sejenis dengan alasan melestarikan kekayaan budaya lokal. Dampaknya, Indonesia juga tidak dapat mengekspor produk yang ditengarai memiliki kesamaan budaya dengan Malaysia, misalnya batik. Dia tidak memungkiri, selama ini pengusaha Indonesia ada yang mengimpor produk tekstil batik cetak (printing) dari Tiongkok karena harganya lebih murah dibandingkan dengan batik produksi Indonesia. Kendati demikian, lanjut Hariyadi, apabila semangat pemerintah adalah untuk memperbaiki industri dalam negeri, maka memang perlu ada aturan pembatasan impor produk tersebut.
Dalam kesempatan yang sama Menteri Perdagangan Rachmat Gobel juga kembali menegaskan keinginan pemerintah untuk mengeluarkan aturan tersebut. Hal itu dilakukan guna melindungi produk berbasis budaya dan melindungi industri Tanah Air. “Misalnya seperti batik, banyak tekstil kita yang impor dari Tiongkok, desainnya, desain batik. Ini akan kita hambat. Karena kalau tidak kita hambat, industri batik kita yang kecil-kecil kita yang printing pasti akan mati,” tutur Rachmat.
Untuk itu, Menteri Rachmat masih menunggu dukungan dari Kementerian Pariwisata dan berbagai pihak terkait. Rahmat tidak ingin dinilai hanya sekedar mengeluarkan larangan tanpa ada koordinasi.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengimpor sebanyak 282,3 ton produk batik dari berbagai negara dengan nilai mencapai US$ 5,2 miliar pada tahun 2013. Impor terbesar berasal Tiongkok sebesar 136,8 ton, senilai US$ 2,1 juta. Setelah itu disusul oleh Italia yang mengirim produk batiknya ke Tanah Air sebesar 43,1 ton, senilai US$ 937,6 ribu.
Setelah melarang impor pakaian bekas dan jeroan, Kementerian Perdagangan (Kemendag) memastikan akan segera menerbitkan aturan mengenai larangan impor tekstil bermotif batik ataupun desain bercorak budaya Indonesa. Ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan pemerintah pada industri berbasis budaya Tanah Air.
“Kalau tidak impornya makin lama makin tinggi dan ini merugikan para pengrajin batik, mungkin (juga) songket. Kemarin saya diberi tahu juga dari Bali, kain khas Bali juga demikian, dibuat di Cina dan diekspor ke Indonesia yang sayangnya dilakukan oleh perusahaan Indonesia,” tutur Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dalam acara Jakarta International Handicraft Trade Fair ( INACRAFT) Award 2015 di Jakarta Convention Center, Jumat (10/4).
Kekhawatiran Rachmat memang beralasan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengimpor sebanyak 282,3 ton produk batik dari berbagai negara dengan nilai mencapai US$ 5,2 miliar pada tahun 2013. Impor terbesar berasal Tiongkok sebesar 136,8 ton, senilai US$ 2,1 juta. Setelah itu disusul oleh Italia yang mengirim produk batiknya ke Tanah Air sebesar 43,1 ton, senilai US$ 937,6 ribu. Negara lain mengekspor produk batiknya ke Indonesia adalah Hongkong, Korea Selatan, dan Jepang.
Menurut Rachmat, nilai budaya bangsa yang terkandung dalam produk tersebut harus dijaga karena tidak ternilai harganya. Selain itu, keberadaan produk tersebut juga merugikan pelaku industri domestik karena harus bersaing harga dengan produk impor yang lebih murah.
“Saya menunggu dukungan dari Menteri Pariwisata dan mungkin juga Kepala Badan Ekonomi Kreatif untuk supaya kita bisa segera men-stop daripada impor-impor yang akan menggangu, bukan hanya mengganggu industri tetapi ini ada nilai budaya yang harus kita jaga,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment