Lebaran sudah di depan mata. Selain predikat perhelatan keagamaan dan sosial, ritual tahunan itu juga membawa dimensi ekonomi; inilah masa puncak belanja masyarakat dan bak suntikan stimulus penggerak ekonomi Indonesia. Bahkan tahun ini peran belanja Lebaran amat krusial bagi ekonomi Indonesia. Maklum, di tengah kelesuan ekonomi dunia serta minimnya belanja pemerintah, belanja Lebaran ibarat lokomotif sementara penggerak ekonomi Indonesia. Sayang, harapan itu terbentur pelemahan daya beli masyarakat.
Bank Indonesia (BI) mencatat, realisasi uang tunai yang keluar menjelang Lebaran 2015 sekitar Rp 125 triliun, naik tipis dari tahun lalu yang senilai Rp 124 triliun. Padahal, "Biasa setiap tahun naik 11 persen bahkan pernah 14 persen," kata Tirta Segara, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI.
Gelagat itu sebenarnya sudah terbaca sejak awal dari penurunan tingkat keyakinan konsumen. Data BI memperlihatkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juni 2015 sebesar 111,3 poin atau turun 1,5 poin ketimbang bulan sebelumnya. Pelemahan ini sejalan dengan penurunan Indeks Kondisi Ekonomi (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang masing-masing turun 2,3 poin dan 0,5 poin dari posisi di bulan lalu.
Optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan mendatang juga merosot. Itu tecermin dari IEK yang pada Juni 2015 tercatat 122,4 atau turun 0,5 poin dari IEK di bulan sebelumnya, yaitu 122,9. Konsumen masih khawatir ekonomi enam bulan ke depan tak membaik.
Di sisi lain, penggunaan uang elektronik menyumbang pada rendahnya kenaikan realisasi uang tunai tahun ini. "Mereka tidak lagi mengambil uang tunai," terang Tirta. Pelemahan daya beli masyarakat juga berdampak terhadap omzet perdagangan makanan dan minuman. Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman, dibandingkan tahun lalu, pertumbuhan industri makanan kini relatif stagnan, bahkan bisa merosot.
Sebagai perbandingan, tahun-tahun sebelumnya, peningkatan pendapatan sektor perdagangan saat Puasa dan Lebaran mencapai 150% alias 1,5 kali lipat ketimbang bulan normal. Untuk menyiasati pelemahan daya beli, para pengusaha ritel berlomba-lomba memberikan potongan harga demi menggelitik daya beli masyarakat.
Corporate Communications General Manager Transmart Carrefour Satria Hamid mengatakan, menggunakan strategi total football demi menjaring pelanggan. "Pasar kalau tidak diberi stimulus maka akan stagnan," katanya. Badan Pusat Statistik (BPS) pun sudah memperkirakan perlambatan ekonomi di paruh pertama ini berdampak terhadap lesunya penjualan ritel. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, efisiensi yang dilakukan pemerintah membuat masyarakat berhati-hati berbelanja sehingga menekan konsumsi.
"Selain itu, supply kebutuhan Puasa dan Lebaran tampak mencukupi," kata Sasmito.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual melihat, angka peningkatan konsumsi masyarakat menjelang Lebaran tahun ini adalah yang terendah dibandingkan dalam tiga tahun terakhir, utamanya di Luar Jawa. Itu sebabnya, proyek infrastruktur di Luar Jawa bisa menjadi penopang ekonomi baru dan mengurangi tekanan penurunan harga kelapa sawit dan batubara.
Satu catatan lagi dari Ekonom Institute for Development Economy and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, mayoritas pemenuhan kebutuhan konsumsi berasal dari barang impor. "Pemerintah seharusnya belajar, kenaikan permintaan itu jangan selalu dipenuhi impor tapi harus menaikkan produktivitas lokal," tandasnya.
Akhir kata, boleh jadi inilah perayaan Lebaran di tengah keprihatinan. Selamat Idul Fitri 1436 H.
No comments:
Post a Comment