Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menyentuh level terlemah pasca krisis 1998. Secara psikologis, pelemahan ini dinilai bakal menjalar ke semua sektor ekonomi karena bakal berpengaruh terhadap besaran impor dan pada akhirnya kembali menekan daya beli masyarakat
Bank Indonesia menetapkan kurs tengah rupiah di level 13.448 per dolar AS pada Jumat (24/7), melemah 0,40 persen dari hari sebelumnya. Sementara itu, di pasar uang, rupiah sempat bertengger di level 13.483 hingga 17.00 WIB. Level ini merupakan yang terendah pasca krisis 1998. .
Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, secara psikologis pelemahan rupiah memang sudah menjalar. Menurutnya, pemerintah harus berhati-hati karena secara psikologis bakal sangat mengganggu roda perekonomian. “Apalagi ketergantungan impor kita cukup tinggi, hal itu ditambah daya beli yang turun. Semua hal tersebut membuat kinerja perusahaan melemah. Karena nanti biaya impor naik, dan daya beli juga turun,” ujarnya ketika dihubungi.
Terkait kebijakan pemerintah untuk mengendalikan pelemahan rupiah, ia menilai publik tidak bisa berharap terlalu banyak kepada Bank Indonesia (BI). Pasalnya, intervensi yang sering dilakukan BI untuk menekan pelemahan melalui skema 'membakar devisa' dinilai berbahaya. “Kita tidak bisa berharap hanya pada BI, karena memang secara global dolar AS sedang menguat. BI malah perlu manajemen devisa. Jangan sampe malah membuang-buang cadangan devisa,” jelasnya.
Di sisi lain, ia mengaku adanya kewajiban transaksi dengan rupiah dan aturan lindung nilai (hedging) bisa memberikan perbaikan kinerja rupiah, kendati tidak dalam waktu dekat. Ia menambahkan sebenarnya ada opsi lain yang bisa dilakukan, namun terlalu berbahaya jika dilakukan saat ini.
“Sebenarnya fasilitas currency swap bisa digunakan, tapi berbahaya. Karena hal itu bisa membuat kekhawatiran pasar dan menambah spekulasi pasar. Pasar bisa menilai kondisi Indonesia terlampu buruk nanti. Fasilitas itu sebaiknya digunakan waktu kondisi normal saja,” jelasnya.
Lebih lanjut, dari sisi global, Lana menilai rencana penaikan suku bunga AS oleh bank sentral negeri Paman Sam (The Fed) masih menjadi momok pasar uang dunia. Namun, Lana menilai jika terlampau berbahaya bagi kondisi ekonomi global, bisa jadi penaikan tersebut ditunda hingga tahun depan.
“Bisa jadi penaikan Fed Rate ditunda. Masalahnya, jika dolar AS terlalu kuat, maka perusahaan Amerika yang banyak menjual produk ke luar negeri juga ikut terkena imbas karena harganya jadi terlalu mahal,” ujarnya. Analis PT Platon Niaga Berjangka Lukman Leong mengatakan kondisi internal Indonesia merupakan yang paling rumit jika dibandingkan dengan negara lain yang mata uangnya juga melemah terhadap dolar AS. Ia menilai, opsi pemangkasan suku bunga bisa digunakan oleh pemerintah saat ini.
“Saya kira negara lain sudah melakukan pemangkasan suku bunga. Peluang itu masih besar. Suku bunga perlu diturunkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya. Pasalnya, ia menilai intervensi BI dengan melakukan pembelian dolar menggunakan cadangan devisa tidak terlalu mumpuni pada saat ini. Maka lebih baik melakukan kebijakan yang baik bagi fundamental ekonomi dalam negeri.
“Saat ini pasar menunggu besaran produk domestik bruto (PDB) kuartal II, yang diperkirakan tidak jauh berbeda dengan kuartal I. Hingga pengumuman itu, rupiah masih bisa terus melemah. Bahkan mungkin saja mencapai 13.500 per dolar AS,” katanya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup terkoreksi dalam di penghujung pekan ini. Indeks turun sebesar 46 poin (0,94 persen) ke level 4.856 setelah bergerak di antara 4.848-4.892 pada Jumat (24/7). Sebanyak 88 saham naik, 172 saham turun, 88 saham tidak bergerak, dan 208 saham tidak ditransaksikan.
Sementara itu, di pasar valuta asing, nilai tukar rupiah terkoreksi sebesar 27 poin (0,2 persen) ke Rp 13.447 per dolar AS, setelah bergerak di kisaran Rp 13.430-Rp 13.483 per dolar AS. PT Mandiri Sekuritas mencatat, investor membukukan transaksi sebesar Rp 3,96 triliun, terdiri dari transaksi reguler Rp 3,06 triliun dan transaksi negosiasi Rp 903,16 miliar. Di pasar reguler, investor asing membukukan transaksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 212,71 miliar.
Sebanyak sembilan sektor melemah, dipimpin oleh sektor aneka industri yang turun 2,56 persen dan sektor properti yang turun 1,7 persen. Saham di sektor aneka industri yang paling terkoreksi adalah PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS, Rp 150) yang turun 4,46 persen dan PT Astra International Tbk (ASII, Rp 6.650) yang turun 3,27 persen.
Di sektor properti, saham yang paling melemah adalah PT Acset Indonusa Tbk (ACST, Rp 4.650) sebesar 1,29 persen dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI, Rp 2.565, NEUTRAL, TP Rp 3.300) sebesar 3,75 persen. Dari Asia, mayoritas indeks saham terkoreksi signifikan. Kondisi itu ditunjukkan oleh indeks Nikkei225 di Jepang yang turun sebesar 0,67 persen, indeks Kospi di Korsel melemah sebesar 0,93 persen, dan indeks Hang Seng di Hong Kong terkoreksi sebesar 1,06 persen.
Sore ini, mayoritas indeks saham di Eropa masih mixed sejak dibuka tadi siang. Indeks FTSE100 di Inggris naik 0,15 persen dan CAC di Perancis terapresiasi 0,25 persen, sedangkan DAX di Jerman melemah 0,13 persen.
No comments:
Post a Comment