PT PLN (Persero) menyarankan masyarakat pemilik sisa 12 hektare lahan yang menjadi lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Batang di Jawa Tengah untuk bersedia menjual tanahnya dengan harga yang wajar. Jika sampai Agustus masih ada warga yang menolak menjual tanahnya, PLN akan mengambil tindakan tegas.
“Saya targetkan Juli pembebasan lahan selesai, paling telat Agustus ground breaking. Harus itu, harus. Kalau enggak, nanti kita keras-kerasan,” ujar Direktur Utama PLN Sofyan Basir di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (13/7). Menurut Sofyan, dari 12 hektare tersebut masih ada 9 hektare lahan warga yang belum dibebaskan. Mantan Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) itu mengatakan PLN bersama warga tengah melakukan pengukuran ulang milik satu per satu warga atas lahan tersebut.
“Pengukuran ditargetkan selesai 28-29 Juli 2015, berdasarkan pengukuran tersebut kami kemudian melakukan appraisal dan menitipkan uang di pengadilan sebagai biaya penggantian,” kata Sofyan. Sebelumnya Mohammad Effendi, Presiden Direktur PT Adaro Power sebagai salah satu anggota konsorsium PLTU Batang mengatakan setidaknya ada 65 warga yang menolak untuk menjual sisa lahannya kepada konsorsium PT Bhimasena Power Indonesia (BPI).
“Akhirnya dalam rapat 4 Juni 2015 di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla (Wapres JK) diputuskan harus PLN yang membebaskan lahannya, harus perusahaan negara bukan swasta. Kecil kok, hanya Rp 12 miliar lagi. Jadi nanti BPI menyewa yang 12 hektare itu ke PLN. Pak Wapres minta urusan ini selesai akhir September, supaya Oktober dari konsorsium bisa financial closing,” kata Effendi.
Selain Adaro yang memegang kepemilikan 34 persen, saham BPI juga dimiliki oleh dua perusahaan Jepang yaitu J-Power 34 persen, dan Itochu 32 persen. “BPI ini kan nantinya akan pinjam uang dari JBIC, nah JBIC mengatakan kamu kalau dipinjami uang ada syaratnya. Salah satunya lahan harus ada. Kalau lahan lengkap, dia bisa verifikasi, lalu bisa financial close untuk segera di tandatangani,” kata Effendi.
Menurut pria yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur BPI tersebut, konsorsium membutuhkan waktu 48 bulan untuk menyelesaikan pembangunan unit 1 dari pembangkit berkapasitas total 2 x 1.000 megawatt tersebut. “Karena mundur pelaksanaannya, kami harus memanggil sub kontraktor yang kemarin sudah ditunjuk sekitar 3 bulan di awal lah persiapannya. Jadi total selesai dalam 51 bulan. Kemudian unit 2 dibangun enam bulan kemudian, jadi total 57 bulan,” jelasnya.
Terkait harga jual beli listrik, BPI dan PLN telah sepakat untuk menggunakan angka US$ 5,71 sen per kilowatt hour (kWh).
“Harga jual sudah dipatok, kami sama PLN sepakat setelah jadi BPI akan jual dengan harga segitu, meskipun molor harganya tetap itu. Kalau harga sudah tidak cocok dengan biaya saat ini, mungkin tidak perlu revisi harga tapi di panjangin saja kontraknya. Tidak 25 tahun, tetapi 30 tahun misalnya. Jadi biaya yang dikeluarkan investasi bisa ditarik kembali dengan beroperasi selama itu,” katanya.
No comments:
Post a Comment