Meskipun begitu, tren produksi bulanan TBA AALI di Sumatera dan Sulawesi masih menunjukkan peningkatan. "Produksi bulanan TBS di wilayah Sumatera dan Sulawesi meningkat masing-masing 3,8% dan 2,4%," kata manajemen dalam keterangan resmi.
Produksi TBS di Sumatera meningkat dari 1,04 juta ton menjadi 1,08 juta ton, sedangkan produksi TBS di Sulawesi meningkat dari 508.655 ton menjadi 520.721 ton. Penurunan produksi TBS AALI cukup tajam terjadi di wilayah Kalimantan yang mencapai 10,1% dari 1,19 juta ton pada periode yang sama tahun lalu menjadi 1,07 juta ton.
Pengusaha sawit dalam negeri pesimistis target ekspor sawit 2015 yang diproyeksikan mencapai 21 juta ton bisa tercapai. "Kacaunya sistem dan birokrasi ekspor produk sawit pasca penerapan CPO Fund bakal menghambat pertumbuhan ekspor," kata Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga di Jakarta.
Para pengusaha saat ini tengah galau karena penerapan pungutan dana pengembangan kelapa sawit alias Crude Palm Oil (CPO) Fund sejak 16 Juli 2015 kemarin masih menyisakan persoalan. Para pengusaha dari berbagai asosiasi menyoroti belum adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 133 tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Penggelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan, yang merupakan revisi dari PMK nomor 114 tahun 2015.
Satu peraturan lain yang belum ada ialah PMK nomor 136 tahun 2015 tentang perubahan Bea Keluar Barang yang merupakan revisi dari PMK nomor 128 tahun 2013. Dua peraturan ini, kata Sahat, bersama dua peraturan lain dari Kementerian Perdagangan, menjadi payung hukum CPO Fund.
Menurut Sahat, di lapangan pun, petugas Kepabeanan juga belum menerapkan aturan-aturan ini secara menyeluruh. "Pengusaha masih mendapat perlakuan berbeda-beda." Tahun lalu, Sahat mengatakan, volume ekspor produk sawit Indonesia mencapai 20,8 juta ton. "Awalnya kami optimistis ekspor tahun ini bisa naik." Tapi karena keruwetan sistem baru, Sahat menambahkan, pengusaha jadi berpikir ulang untuk meningkatkan volume ekspor. "Bagaimana mau mengejar target ekspor Rp 300 triliun," katanya.
Kondisi industri dan ekspor sawit dalam negeri yang dianggap kacau oleh para pengusaha ini menurut Sahat dimanfaatkan oleh pelaku ekspor negeri jiran Malaysia. Periode Juni-Juli ini saja, volume ekspor sawit Malaysia sudah naik 35 persen. "Ekspor sawit Indonesia terhambat perubahan sistem ini, waktu pengurusan dokumen menjadi lebih lama, tenaga dan biaya yang dikeluarkan pengusaha juga menjadi lebih besar."
Sedangkan, berdasarkan data yang dihimpun DMSI, penerapan CPO Fund selama hampir sepekan ini sudah berhasil mendatangkan dana sebesar Rp 50,4 miliar kepada Badan Layanan Umum CPO Fund yang ditugasi mengelola dana pungutan hasil usaha sawit itu. "Baru sepekan saja sudah segitu, ini menunjukkan potensinya masih sangat besar, tapi sayang pengelolaannya masih kacau," ucap Sahat.
Para pengusaha saat ini tengah galau karena penerapan pungutan dana pengembangan kelapa sawit alias Crude Palm Oil (CPO) Fund sejak 16 Juli 2015 kemarin masih menyisakan persoalan. Para pengusaha dari berbagai asosiasi menyoroti belum adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 133 tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Penggelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan, yang merupakan revisi dari PMK nomor 114 tahun 2015.
Satu peraturan lain yang belum ada ialah PMK nomor 136 tahun 2015 tentang perubahan Bea Keluar Barang yang merupakan revisi dari PMK nomor 128 tahun 2013. Dua peraturan ini, kata Sahat, bersama dua peraturan lain dari Kementerian Perdagangan, menjadi payung hukum CPO Fund.
Menurut Sahat, di lapangan pun, petugas Kepabeanan juga belum menerapkan aturan-aturan ini secara menyeluruh. "Pengusaha masih mendapat perlakuan berbeda-beda." Tahun lalu, Sahat mengatakan, volume ekspor produk sawit Indonesia mencapai 20,8 juta ton. "Awalnya kami optimistis ekspor tahun ini bisa naik." Tapi karena keruwetan sistem baru, Sahat menambahkan, pengusaha jadi berpikir ulang untuk meningkatkan volume ekspor. "Bagaimana mau mengejar target ekspor Rp 300 triliun," katanya.
Kondisi industri dan ekspor sawit dalam negeri yang dianggap kacau oleh para pengusaha ini menurut Sahat dimanfaatkan oleh pelaku ekspor negeri jiran Malaysia. Periode Juni-Juli ini saja, volume ekspor sawit Malaysia sudah naik 35 persen. "Ekspor sawit Indonesia terhambat perubahan sistem ini, waktu pengurusan dokumen menjadi lebih lama, tenaga dan biaya yang dikeluarkan pengusaha juga menjadi lebih besar."
Sedangkan, berdasarkan data yang dihimpun DMSI, penerapan CPO Fund selama hampir sepekan ini sudah berhasil mendatangkan dana sebesar Rp 50,4 miliar kepada Badan Layanan Umum CPO Fund yang ditugasi mengelola dana pungutan hasil usaha sawit itu. "Baru sepekan saja sudah segitu, ini menunjukkan potensinya masih sangat besar, tapi sayang pengelolaannya masih kacau," ucap Sahat.
No comments:
Post a Comment