Thursday, July 30, 2015

Baru 6 Bulan BCA Sudah Kantongi Laba Bersih Rp 8,5 Triliun

PT Bank Central Asia Tbk (BCA) dan entitas anak membukukan laba bersih sebesar Rp 8,5 triliun atau naik 8,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 7,9 triliun. “Pelemahan perekonomian Indonesia telah berdampak terhadap sektor perbankan, namun kami tetap dapat mempertahankan kinerja keuangan yang positif,” tutur Presiden Direktur BCA Jahja Setiatmadja dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (29/7).

Jahja mengungkapkan pendapatan operasional BCA meningkat 14,2 persen year on year menjadi Rp 22,6 triliun pada semester I 2015 dari 19,8 triliun pada semester I 2014. Raupan tersebut ditopang dari pendapatan bunga bersih yang naik sebesar 11,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi Rp 17,1 triliun dan pendapatan non bunga bersih sebesar Rp 5,4 triliun atau naik 23,9 persen dari semester I tahun lalu.

Sementara beban operasional paruh pertama tahun ini tercatat meningkat 23,5 persen menjadi Rp 11,2 triliun dibandingkan tahun lalu. Jahja mengungkapkan peningkatan beban tersebut akibat upaya BCA dalam memperkuat jaringan domestik. “Sejak beberapa tahun terakhir kami bisa menambah 50-60 cabang per tahun. Itu merupakan invetasi yang lumayan besar karena kami harus sewa atau membeli ruko. Setiap penambahan cabang berarti penambahan personel. Kami juga menambah mesin-mesin ATM,” tutur Jahja

Dari sisi kredit, lanjut Jahja, sepanjang semester I 2015, outstanding portofolio kredit tercatat Rp 347,1 triliun atau naik 8 persen yang terutama berasal peningkatan penyaluran kredit konsumer, komersial dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Kredit komersial dan UKM tercatat sebesar Rp 137,5 triliun atau naik 8,3 persen year on year.

Sementara itu, kredit konsumer pada paruh pertama tahun ini tercatat naik 9,2 persen menjadi Rp 96,4 triliun. Portofolio Kredit Pemilikan Rumah (KPR) masih dominan menopang kredit konsumer dengan angka Rp 56,9 triliun atau meningkat 7,7 persen year on year. Sedangkan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) yang disalurkan naik 11,6 persen menjadi Rp 30,5 triliun.

Di lini bisnis kartu kredit, outstanding lini ini tercatat Rp 9 triliun atau naik 10,5 persen. Sedangkan, kredit korporasi tercatat naik 6,4 persen menjadi Rp 113,2 triliun. Non Performing Loan (NPL) untuk semester I 2015 berada di level 0,7 persen masih di bawah rata-rata sektor perbankan tanah air yang tercatat 2,5 persen.

Di sisi pendanaan, sepanjang paruh pertama tahun ini Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 8 persen menjadi Rp 455 triliun. Dana giro dan tabungan (CASA) yang berkontribusi sebesar 76 persen kepada DPK tercatat Rp 345,9 triliun atau naik 6,4 persen. Dana tabungan berkontribusi sebesar Rp 231,7 triliun dari total CASA atau naik 5,5 persen sementara dana giro tumbuh 8,1 persen menjadi Rp 114,2 triliun.

Sementara itu, dana deposito tercatat Rp 109,1 triliun atau meningkat 13,7 persen year on year pada semester 1 2015. Sedangkan secondary reservestercatat sebesar Rp 75,5 triliun. Lebih lanjut, rasio kredit terhadap DPK pada semester I 2015 berada di level 75,7 persen di bawah rerata industri yang tercatat 87,9 persen. Sementara rasio kecukupan modal tercatat sebesar 19,0 persen selama 6 bulan terakhir.

Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mengaku tidak merasa cemas dengan adanya rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/Fed). Janet Yellen selaku Gubernur The Fed telah mengisyaratkan akan ada kenaikan Fed rate pada akhir tahun ini.

"Kalau saya pribadi berasumsi bahwa kalau US interest rate mulai naik paling tidak kita sedikit banyak mengikuti tren. Itu cukuplah," tutur Jahja dalam acara paparan kinerja semester I 2015 di Jakarta, Rabu (29/7). Jahja mengambil contoh, ketika The Fed rate naik perseroan akan melakukan penyesuaian sebesar 0,25 basis poin pada tingkat bunganya. Dengan tidak melawan arus, Jahja meyakini bahwa pasar akan tetap tenang dan tidak menimbulkan kepanikan.

“Hal itu dilakukan hanya untuk menunjukkan ke pasar bahwa we follow the trend, tidak melawan arus,” tutur Jahja. Menurut Jahja, pada dasarnya pasar sudah mengantisipasi kenaikan The Fed rate dari level saat ini di rentang 0 - 0,25 persen. “Yang membuat market shock itu kalau tidak ada pengumuman interest US akan naik,” ujarnya.

Di sisi lain, Jahja lebih mengkhawatirkan potensi ketatnya likuiditas perbankan menyusul adanya pembiayaan proyek infrastruktur pemerintah. Seperti diketahui pemerintah membutuhkan sekitar Rp 4.970 triliun untuk membangun berbagai mega proyek infrastruktur selama lima tahun ke depan.

“Kalau dilaksanakan Rp 1.000 triliun saja itu sudah cukup besar karena kemampuan bank domestik dan lokal untuk pendanaan saya pikir paling banyak Rp 100 triliun sampai Rp 200 triliun (per tahun) kemampuannya. Selebihnya mau tidak mau harus ambil dari luar," ujarnya. Menurutnya apabila pembiayaan infrastruktur dipaksakan melebihi kemampuan pendanaan perbankan lokal maka likuiditas rupiah akan kembali ketat. Pasalnya, selain sektor infrastruktur, perbankan juga perlu memperhatikan pembiayaan sektor industri lain maupun kebutuhan nasabah lain.

“Selain itu, perbankan di Indonesia belum terbiasa memberikan pendanaan jangka panjang. (Sumber pendanaan perbankan) kita semua dari tabungan, giro, deposito itu paling lama setahun. Infrastruktur kan bisa 15-20 tahun jadi memang perbankan nggak terlalu berani masuk dalam jumlah terlalu besar,” ujarnya

No comments:

Post a Comment