Friday, July 17, 2015

Kredit Macet Di Indonesia Mulai Mengkhawatirkan

Bank Indonesia (BI) mewaspadai beberapa sektor yang dinilai berpotensi memiliki tingkat kredit macet (non performing loan/NPL). Menurut Gubernur BI Agus Martowardojo kewaspadaan tersebut muncul setelah bank sentral melihat adanya kenaikan data NPL per Mei 2015. NPL perbankan tercatat sebesar 2,6 persen, naik 0,1 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang di level 2,5 persen.

"Secara umum kualitas likuiditas perbankan itu baik dan pertumbuhan kreditnya ada di atas 10 persen, rasio kecukupan modalnya (capital adequacy ratio/ CAR) juga mencapai 20 persen. Namun NPL nya memang ada sedikit peningkatan karena secara gross itu sudah meningkat di atas 2,5 persen," ujar Agus saat ditemui di kediamannya di Jakarta, Jumat (17/7). BI mencatat pada Mei 2015, rasio kecukupan modal masih kuat, jauh di atas ketentuan minimum 8 persen, yaitu sebesar 20,3 persen.

"Hanya saja ada sektor-sektor tertentu yang perlu diwaspadai," katanya. Pertambangan dan Konstruksi. Agus menjelaskan, peningkatan rasio NPL terjadi disebabkan oleh lambatnya pertumbuhan kredit dan meningkatnya jumlah NPL secara nominal. Adapun peningkatan NPL antara lain masih terjadi pada kredit di sektor pertambangan dan konstruksi.

BI juga mencatat, hingga Mei 2015 kredit tumbuh sebesar 10,4 persen secara year on year (yoy) atau relatif stabil dibandingkan pertumbuhan kredit pada bulan sebelumnya. Sedangkan dana pihak ketiga (DPK) tercatat tumbuh 12,5 persen (yoy) atau melambat dibandingkan bulan sebelumnya. Kendati demikian, Agus optimistis berbagai kebijakan makro prudensial seperti pelonggaran Loan to Value (LTV) dan aturan keringanan Giro Wajib Minimum (GWM) dapat mengakomodasi pertumbuhan kredit perbankan.

"Tapi kami yakin dengan pengawasan dari OJK, Perbankan akan berjalan secara baik," ujarnya. Bank Indonesia (BI) menegaskan perbankan yang memiliki angka kredit macet (Non Performing Loan/NPL) di atas 5 persen tidak bisa mengikuti ketentuan baru mengenai aturan pelonggaran uang muka bagi kredit kepemilikan properti dan kendaraan bermotor.

Direktur Departemen Kebijakan Makro Prudential BI Yati Kurniati, mengatakan bahwa penerapan ketentuan LTV/FTV dan uang muka yang baru akan dikaitkan dengan kinerja bank dalam mengelola kredit/pembiayaan bermasalah. Hal ini dilakukan sebagai upaya mitigasi risiko, agar pelonggaran yang diberikan tidak serta merta meningkatkan potensi risiko kredit/pembiayaan. Dengan ini, diharapkan agar penyaluran kredit kepada masyarakat dapat berjalan lebih luas namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, baik bagi masyarakat maupun bank.

"Pelonggaran ini berlaku hanya untuk bank yang total gross NPL nya di bawah 5 persen dan NPL untuk KPR juga di bawah 5 persen," kata Yati kepada media di Gedung BI Pusat, Jakarta, Rabu (24/6). "Kalau bank yang NPL nya sudah di atas 5 persen maka dia harus mengikuti ketentuan aturan rasio LTV yang lama. Ini berlaku sama untuk bank konvensional dan syariah," imbuhnya.

Yati menjelaskan, alasan dilonggarkannya aturan makroprudensial tersebut adalah untuk menjaga pertumbuhan perekonomian nasional agar tetap berada pada momentum yang positif melalui peningkatan pertumbuhan kredit. Sektor properti dan kendaraan bermotor dianggap memiliki multiplier effect dan backward linkageyang cukup besar kepada sektor-sektor ekonomi lainnya sehingga dampak lanjutannya diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) per April 2015, perbankan mengalami perlambatan pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) yang diikuti dengan kenaikan rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Tirta Segara, Direktur Eksekutif, Departemen Komunikasi BI, menyampaikan, misalnya untuk kredit mengalami perlambatan karena menurunnya permintaan kredit akibat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi.

Menurut catatan BI, pertumbuhan kredit per April 2015 hanya tumbuh 10,4 persen menurun dari pertumbuhan kredit 11,3 persen per Maret 2015.  Kemudian, DPK tumbuh 14,2 persen per April 2015, dari pertumbuhan 16,0 persen per Maret 2015. Serta, NPL netto naik 0,1 persen menjadi 2,5 persen per April 2015, dari posisi 2,4 persen per Maret 2015.

"Rasio NPL lebih meningkat karena pembaginya tidak imbang yang disebabkan oleh rendahnya penyaluran kredit," kata Tirta, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, belum lama ini. Meskipun kinerja bank mengalami perlambatan, namun regulator tetap optimis kedepan pertumbuhan kredit akan naik, jika pemerintah melakukan belanja investasi untuk kegiatan infrastruktur. Pasalnya, ini akan membantu penyaluran kredit bank.

No comments:

Post a Comment