Saturday, July 18, 2015

Faisal Basri : Peningkatan Belanja Negara Tidak Efektif Untuk Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik satu-satunya rencana pemerintah untuk menggenjot ekonomi di semester II 2015 dengan meningkatkan belanja negara. Langkah tersebut menurut Faisal tidak akan efektif dampaknya dalam meningkatkan pertumbuhan karena porsinya yang sangat rendah.

Dikutip dari blog pribadinya, Faisal menyebut belakangan ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) maupun Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro kerap mendengungkan akan mendorong habis-habisan pembangunan berbagai jenis infrastruktur. Menurut Faisal jenis belanja ini masuk dalam pos belanja modal. Sementara di dalam produk domestik bruto (DB), belanja modal masuk dalam I.

“Pada 2014, I berdasarkan harga berlaku berjumlah Rp 3.434 triliun. Adapun belanja modal pemerintah yang tertera di APBN 2014 senilai Rp 135 triliun atau hanya 3,9 persen dari I. Kalaupun belanja modal pemerintah dinaikkan dua kali lipat sebagaimana tercantum dalam APBNP 2015 menjadi Rp 276 triliun, tetap saja porsinya sangat kecil, hanya sekitar 5-6 persen,” kata Faisal, dikutip Rabu (15/7).

Sehingga bagi Faisal sangat jelas, menggenjot belanja infrastruktur tak banyak membantu untuk mengerek pertumbuhan ekonomi. “Bahkan sangat mungkin ekspansi anggaran lewat peningkatan belanja pemerintah, termasuk untuk infrastruktur, justru kontraproduktif bagi perekonomian secara keseluruhan. Ini tidak berarti infrastruktur tidak penting. Infrastruktur merupakan tanggung jawab pemerintah dan memang harus digalakkan. Yang dimaksud dengan kontraproduktif di sini adalah dampaknya terhadap pertumbuhan jangka pendek,” jelasnya.

Faisal menyarankan pemerintah untuk bisa mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengevaluasi ulang tiga strategi yang sebagian besar sudah dilakukan saat ini. Pertama, untuk meningkatkan belanja pemerintah, penerimaan pemerintah harus naik. Penerimaan pemerintah yang terbesar adalah dari pajak. Oleh karena itu penerimaan pajak harus juga digenjot. “Namun risikonya, peningkatan pajak mengurangi ruang gerak masyarakat berbelanja dan dunia usaha berekspansi,” jelasnya.

Kedua, jika peningkatan belanja pemerintah lebih besar dari peningkatan pendapatan pemerintah, maka pemerintah harus berutang lebih banyak. Agar Surat Utang Negara (SUN) laku, suku bunga SUN harus menarik, menyebabkan kenaikan suku bunga di pasar keuangan. “Kenaikan suku bunga itu membuat investasi swasta turun. Jadi, peningkatan utang pemerintah menimbulkan efek mendesak (crowding out effect),” kata Faisal.

Ketiga, dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang melemah, pemerintah cenderung membabi-buta mencari sumber penerimaan baru dari pajak maupun bukan pajak. Seperti sudah terjadi sekarang, pemerintah mulai 1 Juli mengenakan pajak laba perusahaan bayar di muka sebesar 1 persen untuk setiap produk minerba yang diekspor.

Padahal harga komoditi pertambangan sedang merosot tajam. Perusahaan tambang yang merugi pun terkena ketentuan ini. Walaupun dapat memperoleh pengembalian (restitusi pajak), kewajiban bayar pajak di muka tentu saja menambah beban dan mengganggu arus dana perusahaan. “Akibat selanjutnya, produksi turun dan akhirnya penerimaan negara bukan pajak (royalti, bagi hasil, dan lain-lain) juga turun. Ini sekedar satu contoh saja. banyak lagi praktek sejenis itu yang menambah beban perusahaan,” jelas Faisal.

Jadi untuk bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi, Faisal mengatakan sebaiknya pemerintah menghilangkan kebijakan yang menekan pengeluaran konsumsi rumah tangga seperti kebijakan upah murah (konsumsi karyawan dan buruh, pengeluaran konsumsi lembaha non profit rumah tangga dan pembentukan modal tetap domestik bruto.

“Ciptakan iklim investasi yang kondusif, misalnya hapuskan pengenaan pajak penghasilan bayar di muka untuk seluruh impor bahan baku dan penolong. Ironisnya, Kementerian Keuangan baru-baru ini justru menaikkan pajak jenis ini dari 7,5 persen menjadi 10 persen. Bukannya dihapus, malahan dinaikkan,” kata Faisal.

Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengaku telah mengantisipasi efek perlambatan ekonomi China pada semester II tahun ini. Perlambatan ekonomi negeri tirai bambu itu diperkirakan akan berpengaruh pada menurunnya permintaan ekspor Tanah Air.

"Pertumbuhan ekonomi China di bawah 7 persen itu sudah kita antisipasi sejak awal. Pengaruhnya ke kita terutama ke ekspor. Makanya fokus kita tahun ini tidak ke ekspor tapi di belanja pemerintah," kata Bambang usai melantik pejabat eselon II di kantornya, Jakarta, Rabu (15/7).

Disebutkannya, per hari ini belanja negara telah terserap hingga Rp 820 triliun atau sekitar 41 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara - Perubahan (APBNP) 2015 yang mencapai Rp 1984,1 triliun.  "Nah, penyerapan ini mau kita percepat terus supaya dampaknya lebih terasa ke pertumbuhan (ekonomi)," kata Bambang.  Hingga akhir tahun, Bambang optimistis belanja negara diperkirakan akan terserap hingga Rp 1909,8 triliun atau sekitar 96,3 persen.

No comments:

Post a Comment