Meskipun telah menyatakan mendukung rencana kebijakan pemerintah yang akan mengizinkan Warga Negara Asing (WNA) memiliki properti di tanah air, namun ekonom Faisal Basri juga mewanti-wanti agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan gelembung (bubble) properti seperti yang sempat terjadi di Amerika Serikat.
Mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) itu menjelaskanbubble properti yang terjadi di Amerika Serikat pada 2008 lalu akibat digunakannya produkfinancial derivatives sejenis subprime mortgage. “Sementara pembeli properti di Indonesia paling banter memanfaatkan kredit pemilikan rumah (KPR) dan bank pemberi pinjaman tidak menganakpinakkan KPR menjadi produk finansial turunan. Jadi, KPR sepenuhnya ditopang oleh aset nyata (berwujud). Transaksi kredit itu harus jelas adaunderlying asset-nya,” kata Faisal dikutip dari blog-nya, Sabtu (18/7).
Faisal juga berkeyakinan kebijakan tersebut tidak serta merta membuat harga properti melambung sehingga mengakibatkan orang Indonesia asli kesulitan memiliki rumah akibat kebijakan tersebut. “Sangat boleh jadi harga properti akan naik, tetapi sebatas properti yang boleh dimiliki oleh asing. Lagi pula, asing hanya dibolehkan memiliki apartemen yang tergolong mewah, bukan pada pasar yang diminati pembeli lokal,” ujarnya.
Untuk memastikan hanya properti untuk WNA yang melonjak harganya, Faisal mengatakan pemerintah pusat dan daerah memiliki instrumen untuk mengendalikan harga. Caranya adalah properti yang dibeli asing dikenakan pajak lebih tinggi.
“Dana pajak itu bisa digunakan untuk membeli tanah di sepanjang jalur transportasi publik, terutama kereta api, dan di sekitar kawasan industri. Di atas tanah itu dibangun apartemen atau rumah susun yang terjangkau oleh para pekerja,” jelas Faisal. Faisal menambahkan, ia justru mengaku heran jika WNA masih dilarang untuk memiliki properti di Indonesia. Pasalnya tidak ada aturan yang melarang investor asing membeli saham perusahaan properti Indonesia yang menguasai ribuan apartemen.
“Pemilik saham bisa menjual sahamnya kapan saja sesuka mereka. Pagi hari beli, siangnya dijual kembali. Kalau terjadi sedikit gejolak mereka bisa melepas saham. Sementara kalau asing beli properti mereka tidak bisa memindahkan asetnya itu kalau ada gejolak, jadi tidak akan ada pelarian modal,” kata Faisal.
Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mendukung rencana pemerintah yang akan membuka akses kepemilikan properti bagi Warga Negara Asing (WNA). Meski sampai saat ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing, namun Faisal menilai jika kebijakan tersebut jadi dijalankan ada banyak manfaat yang bisa diperoleh Indonesia.
Dikutip dari blog pribadinya, Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (Migas) itu berpendapat dengan mengizinkan WNA memiliki properti di Indonesia tidak bisa diartikan dengan gampang bahwa pemerintah menjual tanah air. Karena menurut wacana yang berkembang, pemerintah hanya mengizinkan WNA memiliki hunian berbentuk apartemen bukan rumah tapak.
“Sebetulnya kita tak menjual tanah ke asing, hanya jual ruang “udara”. Tapi harus dibatasi misalkan dalam satu komplek apartemen, jumlah yang dimiliki asing katakanlah 45 persen. Selebihnya hanya boleh dimiliki warganegara Indonesia,” kata Faisal, Sabtu (18/7). Faisal berhitung, jika dalam lima tahun WNA membeli 500 ribu unit properti seharga rata-rata Rp 5 miliar per unit. Maka akan masuk dana segar senilai US$ 192 miliar. “Sementara cadangan devisa kita saja per 30 Juni 2015 hanya US$ 108 miliar,” kata Faisal seraya menjelaskan keuntungan yang bisa diperoleh Indonesia.
Selain diuntungkan dari nilai penjualan hunian mewah, Faisal mengatakan pelaku usaha di dalam negeri yang selama ini menopang pertumbuhan bisnis properti juga akan merasakan efek domino dari bakal kebijakan tersebut. Ia menyebut Indonesia berbeda dengan Singapura yang segala kebutuhan pembangunan apartemennya merupakan produk impor.
“Kita menggunakan batu bata, semen, pasir, batu, cat, dan banyak lagi produk dalam negeri. Segala kebutuhan interior bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri, mulai dari beragam barang elektronik hingga pengisi kamar mandi, dari furnitur hingga tanaman,” ujarnya. Menurut Faisal, efek turunan berikut yang akan dirasakan adalah tertampungnya ratusan ribu pekerja untuk mengerjakan proyek-proyek dari pengembang. Mulai dari tukang bangunan sampai satpam.
“Sungguh sangat besar multiplier effect-nya. Tidak berlebihan untuk menyimpulkan sektor properti bakal amat bergairah, berpotensi membangkitkan perekonomian nasional,” jelasnya. Sebelumnya Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menegaskan WNA hanya boleh memiliki apartemen mewah senilai Rp 5 miliar ke atas. "Kalau aturannya sudah keluar, asing hanya boleh membeli apartemen mewah. Mewah itu kategorinya minimal Rp 5 miliar," kata Bambang, Rabu (24/6).
Penjelasan Bambang tersebut, merujuk pada pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberi sinyal akan menerima usulan Realestat Indonesia (REI) agar WNA diizinkan memiliki properti di Indonesia. Meski rencana tersebut dinilai bakal mendongkrak industri properti Indonesia, analis PT Mandiri Sekuritas Liliana S. Bambang menilai sentimen terhadap rencana kebijakan itu akan positif jika orang asing diperbolehkan membeli tempat tinggal dengan status kepemilikan yang sama dengan warga negara Indonesia (WNI).
“Jika status kepemilikan berbeda, ada risiko bahwa hal itu tidak akan menjadi bankable," ujar Liliana dikutip dari riset. Selain itu, Liliana menilai jika pemerintah membedakan status kepemilikan properti tersebut, maka hal itu akan menimbulkan risiko aset tersebut nantinya tidak dapat dijual kepada WNI.
No comments:
Post a Comment