Monday, July 20, 2015

INDEF: Daya Beli Rendah, Permintaan Produk Sekunder Turun

Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai tekanan inflasi pada bulan ini melandai seiring dengan melemahnya daya beli masyarakat. Apabila pada saat lebaran tahun lalu inflasi melonjak karena kombinasi kenaikan harga bahan kebutuhan pokok dan produk sekunder, maka pada tahun ini tekananannya hanya dipengaruhi oleh permintaan kebutuhan pokok.

"Memang inflasi bulan Juli akan lebih besar dibandingkan bulan Juni, tapi itu murni karena kenaikan bahan pokok. Tahun ini sepertinya kita tak akan merasakan inflasi di barang sekunder, khususnya sandang dan elektronik, karena melemahnya daya beli masyarakat," ujar Direktur Indef, Enny Sri Hartati.

Enny menilai saat ini terjadi perubahan di dalam pola konsumsi di Indonesia menjelang lebaran tahun ini, di mana kenaikan harga bahan pokok membuat masyarakat mengurangi pembelian produk-produk sekunder. Terlebih, kenaikan bahan-bahan pokok tersebut tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan, sehingga penghasilan masyarakat habis hanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.

"Kemarin Asosiasi Ritel dan Grosir mengeluh bahwa omzet mereka menurun 30 persen selama bulan Ramadhan. Itu kan artinya ada indikasi bahwa daya beli masyarakat di sektor selain kebutuhan pokok menurun. Mengapa begitu, karena pendapatan masyarakat sudah dihabiskan untuk membeli kebutuhan pokok yang harganya naik terus, jadi tak ada ruang bagi mereka untuk membeli kebutuhan pelengkap," ujarnya.

Akibat kenaikan bahan pokok tersebut, Enny memprediksi inflasi Juli akan berada di kisaran 0,8 pesen hingga 1 persen. Angka tersebut naik sedikit dibandingkan dengan inflasi Juni yang sebesar 0,54 persen.  Selain karena bahan pokok, lanjut Enny, peningkatan inflasi juga akan disebabkan oleh kenaikan biaya transportasi dan melonjaknya kebutuhan pendidikan akibat tahun ajaran baru.

"Menurut pantauan kami, beberapa bahan pangan naik seperti cabai dan telur. Bahkan ada yang naik sampai dua kali lipat seperti daging sapi. Transportasi juga naiknya 100 persen, ditambah lagi dengan tahun ajaran baru yang berdekatan dengan lebaran, itu semua akan berdampak pada laju inflasi bulan Juli," jelasnya.

Kendati demikian, Enny tak menjabarkan lebih jauh mengenai proporsi masing-masing kontributor tersebut dalam membentuk inflasi secara keseluruhan. "Proporsinya masih belum bisa terlihat," katanya. Selain itu, melemahnya daya beli masyarakat saat lebaran ini pun diyakini tidak bisa membantu akumulasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga hingga akhir tahun. Enny mengatakan, hingga akhir tahun pertumbuhan konsumsi diperkirakan akan sebesar 5,1 persen atau sama dengan angka di triwulan I 2015.

"Kalau melihat kondisi seperti ini, rasanya sulit juga untuk kembali ke pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 5,5 seperti tahun lalu," tutur Enny. Pernyataan Enny tersebut melengkapi data Bank Indonesia yang juga memperlihatkan adanya penurunan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), dari sebesar 122,9 poin pada Mei 2015 menjadi 122,4 poin pada Juni lalu. Dengan kata lain, konsumen pun juga pesimistis bahwa konsumsi rumah tangga bisa meningkat di periode-periode berikutnya.

Sebagai informasi, Indonesia sempat mengalami deflasi month-to-month pada Januari sebesar 0,24 persen dan 0,36 persen di Februari. Adanya fakta ini kemudian diikuti oleh penurunan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin, dari 7,75 persen ke 7,5 persen; serta penurunan suku bunga fasilitas deposito dari 5,75 persen menjadi 5,5 persen pada Februari.

Inflasi kemudian terjadi pada Maret sebesar 0,17 persen, yang dipicu oleh kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan ongkos transportasi. Kemudian laju inflasi bulanan meningkat pada bulan April, Mei, dan Juni dengan nilai masing-masing sebesar 0,36 persen, 0,5 persen, dan 0,54 persen.

Menteri Keuangan, Bambang P.S Brodjonegoro mengklaim rendahnya inflasi Juni sebagai keberhasilan pemerintah dan Bank Indonesia mengendalikan harga barang dan jasa. Pernyataan itu dibuat Bambang untuk membantah anggapan sejumlah kalangan yang menilai pelemahan daya beli masyarakat sebagai faktor dibalik inflasi rendah.

"Indikasinya berarti kita bisa kendalikan selama Ramadhan dan lebaran," ujar Menkeu di Jakarta, Senin (13/7).  Selama puasa dan lebaran, kata Bambang, sekalipun pasokan pangan meningkat jika tidak diimbangi dengan permintaan yang memadai maka harganya tetap akan naik.

"Nah bulan lalu kita sudah lakukan operasi pasar, akhirnya kenaikan harga bisa dikendalikan," tutur Bambang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat inflasi pada Juni 2015 sebesar 0,54 persen menyusul naiknya harga-harga seluruh jenis barang dan jasa. Menurut Bambang, pasokan bahan pangan yang memadai terbukti mampu meredam tingginya permintaan pasar selama bulan puasa.

"Tapi sekali lagi saya katakan kalau lebaran, apapun kondisi daya belinya, pemerintah sudah berusaha mengatasi dengan operasi pasar dan pengendalian harga," ujarnya.Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merekam pelemahan transaksi penjualan di tingkat eceran pada bulan lalu selaras dengan penurunan daya beli masyarakat. Hal itu terlihat dari hasil survei Indeks Penjualan Riil (IPR) Juni 2015 yang hanya tumbuh 18,5 persen secara tahunan atau lebih rendah pertumbuhan bulan sebelumnya 19,8 persen.

Berdasarkan survei penjualan riil tersebut, BI menyimpulkan perlambatan pertumbuhan penjualan pertumbuhan tahunan penjualan eceran diperkirakan bakal berlanjut pada Juni 2015. Dari sisi harga, bank sentral memperkirakan tekanan inflasi baru akan mengendur pada Agustus dan November. Indikasi ini terlihat dari Indeks Ekspektasi Harga (IEH) 3 dan 6 bulan yang akan datang masing-masing sebesar 145,9 dan 132,2, lebih rendah dibandingkan 146,4 dan 135,5 pada bulan sebelumnya.

No comments:

Post a Comment