Kekayaan biomassa Indonesia pun masih tersimpan dalam hutan tanaman energi (HTE) namun belum banyak dikembangkan. "Saya percaya yang bergerak di HTI, akan kaya raya. Kalo fosil ditinggal, yang dikejar adalah energi terbarukan. Makin luas, makin banyak panen energi. Indonesia punya densitas atau kepadatan biomassa paling tinggi diantara seluruh negara di dunia," kata Direktur Utama PT Prima Gasifikasi Indonesia Steve Kosasih dalam diskusi Indo EBTKE ConEx 2015 di Jakarta Convention Center (JCC), ditemui detikFinance, Jumat (20/8/2015)
Bagi investor, kendala perizinan sering disebut sebagai penghambat investasi di bidang EBT khususnya yang perlu membangun pembangkit listrik di daerah. Hal ini rupanya tidak ditemui oleh Steve dan perusahaannya yang mengembangkan gasifikasi biomassa di Riau dan Kepulauan Riau. Pengalaman Steve, hanya perlu waktu 3 bulan mengurus administrasi di Dirjen EBTKE Kementerian ESDM.
"Kami membangun pembangkit listrik on grid berkapasitas 1,2 MW di Tanjung Batu Riau dan Kepri tidak mengalami kendala berarti pada perizinan ke pemerintah. Desember 2014 kami masukkan dokumen ke EBTKE dan beres Maret 2015 termasuk UPL/UKL yang dikenal repot. Tanda tangan PPA kami peroleh 19 Agustus 2015," jelas Hanjaya Ekaputra, General Staff pada PT Prima Gasifikasi Indonesia.
Perusahaan tersebut tergabung dalam Asosiasi Produsen Listrik Bioenergi Indonesia (APLIBI). Menurut Hanjaya, bila administrasi lengkap dan perusahaan serius bisa mempermudah pengurusan izin. "Kalau administrasi lengkap dan serius mengerjakan, waktunya tidak lama. Selain itu, bagaimana kita bisa meyakinkan pemerintah daerah dan PLN setempat," katanya.
Hanjaya menjelaskan, secara teknis idealnya pembangkit listrik dekat dengan sumber energi yang akan diolah. "Biaya terbesar untuk produksi energi biomassa adalah transportasi dan pengeringan. Apalagi bahan seperti cangkang sawit, kaliandra merah, ampas tebu, batok kelapa itu kan bulky dan perlu penyediaan dalam jumlah besar," jelasnya.
Hanjaya menghitung, belanja modal untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk mengubah biomassa menjadi tenaga uap makin efisien jika kapasitasnya makin besar. "Biaya Capex nya US$ 1.800 - 3.500/kwh capacity. Makin besar kapasitas makin efisien," tambahnya.
Pemerintah pun mendukung dengan kebijakan feed in tarif listrik energi biomassa yaitu Rp 1150/watt sesuai Permen ESDM. Hanjaya menceritakan hasil power plant di Tanjung Batu Kepri. "Kami sudah produksi sejak akhir 2014. Kapasitas terinstall 1,2 MW. Net output ke PLN 1,1 MW. Kami sudah menghasilkan 900.000 kWh. Bahan yang dipakai Batok kelapa, cangkang sawit, dan wood chip. Konstruksi butuh waktu hanya 1 bulan,"
Beberapa proyek power plant biomassa yang berjalan sejak 2008 seperti di pabrik jamur di Wonosobo dan sejak 2009 mengembangkan pembangkit listrik tenaga biomassa berkapasitas 400 kW di Jayapura. Menurut Hanjaya, di samping kemudahan investasi masih terdapat tantangan seperti infrastruktur di wilayah terpencil dan dukungan masyarakat lokal. "Kita harus bisa meyakinkan masyarakat lokal bahwa proyek akan berguna bagi masyarakat," tambahnya.
Selain itu, beberapa komoditas biomassa sudah menjadi produk komersial seperti cangkang sawit dan pelet kayu. "Woodchip atau pelet kayu saat ini laku dijual Rp 1.000/kg sama dengan cangkang kelapa sawit 5-7 tahun lalu cangkang sawit hanya ditebar di jalan atau harganya hanya Rp 100-150/kg. Saat ini menjadi Rp 900-1.000/kg. Kita harus pandai pakai sumber-sumber lain yang tidak komersial," imbuhnya.
Terkait permodalan, Hanjaya memberi tips harus bisa meyakinkan ke Bank bahwa proyek meski berisiko tinggi tapi sangat berguna bagi masyarakat khususnya di daerah yang belum teraliri listrik. "Bank masih menganggap proyek energi terbarukan masih berisiko tinggi, saya harap bisa lebih meyakinkan bank untuk mencairkan kredit," tuturnya.
No comments:
Post a Comment