Kebanyakan pelaku usaha mikro lebih fokus pada kegiatan memasok atau memproduksi. Alhasil, mereka acap melupakan strategi memasarkan produk. Padahal, kata pendiri Usaha Kecil Menengah (UKM) Centre Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Nining Sri Astuti, saat peresmian Citi Microentrepreneurship Award (CMA) 2015 di Yogyakarta pada Kamis (20/8/2015), dua kegiatan itu mesti berjalan beriringan. "Ini kesalahan pelaku usaha mikro," tuturnya.
Menelusuri kegiatan pelaku usaha mikro pada ajang tersebut melalui produk dan kartu nama yang dipamerkan. Tercatat, hanya beberapa pelaku usaha yang memanfaatkan media sosial untuk langkah promosi. UKM Kiebae yang bergerak di bidang pengolahan bji salak sebagai bahan minuman, misalnya. Pelaku usaha bahkan sudah membubuhkan alamat laman web pada stiker promosi selain nomor kontak.
Kemudian, ada tiga kartu nama yakni dari KPI Mina Gerras asal Sleman, Yogyakarta, Segaaarin dari Ponorogo, Jawa Timur, serta Geplak Waluh Bu Nanik Getasan dari Semarang, Jawa Tengah, yang menempatkan alamat surat elektronik untuk perluasan pemasaran. Hal itu menunjukkan bahwa produksi dan pemasaran para pelaku UKM memang belum digarap terpadu.
Josephus PrimusM. Sururi, yang berwirausaha di bidang Alat Peraga Edukasi (APE) saat mendapat kunjungan media di kawasan Ringin Anom, Kota Magelang pada Kamis (20/8/2015) mengaku punya hasrat untuk memperluas pemasaran. Sayangnya, pemilik Candy Handycraft yang berlokasi di Desa Candi Sidomulyo, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang ini belum mencoba media sosial bahkan membuat kartu nama untuk hasratnya itu. Bahkan, pemenang Citi Microentrepreneurship Award (CMA) 2012 itu hanya menunjukkan secarik nota pembayaran berisi alamat dan nomor kontaknya.
Sementara, saat media melakukan kunjungan kepada tiga pelaku UKM alumni CMA di Kota Magelang, Jawa Tengah, hal yang sama juga masih kelihatan. Adalah M. Sururi yang bergelut di bidang Alat Peraga Edukasi (APE). Pria kelahiran Desa Candi Sidomulyo, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah pada 27 Juli 1962 itu sejatinya punya hasrat besar memperluas bisnisnya.
Awalnya, kata Sururi, sejak kecil ia belajar dari ayahnya memproduksi papan dan bidak catur dari kayu. Di desanya, bahkan sampai kini, para perajin tersebut masih bertahan. Pada 1995, Sururi memulai usaha pembuatan APE itu. Awalnya, ia mendapat pesanan dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Dengan modal pinjaman sebesar Rp 2,5 juta dari Dinas Perindustrian dan Koperasi Jawa Tengah untuk pembelian bahan baku, usahanya berkembang hingga tujuh tahun atau tepatnya sampai dengan 2002. Waktu itu, ia sempat mempekerjakan hingga 24 orang tenaga bantuan.
Sururi yang juga pemenang CMA 2012 itu mengaku selama menggarap proyek provinsi untuk 36 kabupaten/kota itu sudah membuat lebih dari seribu unit APE. Setiap unit terdiri dari 100 varian seperti balok pendidikan, balok geometeri, balok matematika, dan balok nuansa warna serta puzzle. Dalam setiap pesanan, Sururi mampu menyelesaikan tiga bulan. Kala itu, harga per set varian balok geometri mencapai Rp 40.000, puzzle Rp 12.000, dan nuansa warna Rp 15.000.
Pada saat memulai usaha, Sururi menggunakan kayu gelondongan sebagai bahan baku. "Ini sih modalnya dengkul (tanpa modal). Karena, pohon kayu tinggal menebang di dekat rumah," tuturnya. Dengan alasan menekan biaya produksi, Sururi lalu beralih ke limbah kayu. Ia biasa membeli limbah itu dari pengepul di Pelabuhan Tanjung Mas, Kota Semarang. Ia bercerita, setiap hari di pelabuhan itu, masuk 50 kontainer pengangkut kedelai. Pada setiap kontainer terdapat empat potong kayu berukuran panjang 1,40 meter, lebar 14 cm, dan tebal 4 cm. Harga satu potong kayu itu Rp 40.000.
Bahan baku kayu limbah, lanjut Sururi berlimpah. "Sering, saat belum habis, sudah datang lagi bahan baku limbah kayu itu," tuturnya. Masih menurut Sururi, bahan limbah kayu memang bisa menekan biaya produksi ketimbang bahan dari kayu gelondongan. Lantaran itulah, dia bisa menangguk keuntungan sekitar 15 persen lebih. "Kalau dari kayu gelondongan cuma dapat 10 persen," tuturnya sembari menambahkan bahwa rata-rata dalam sebulan ia masih mampu mendapat pemasukan Rp 15 juta.
Sururi yang memberi nama usahanya Candy Handicraft, saat ini, memang masih mengerjakan pesanan-pesanan APE, khususnya dari perusahaan di Yogyakarta. Ia menerangkan bahwa kerja sama itu terjadi lantaran perusahaan tersebut kelebihan permintaan. "Saya lalu diajak bergabung," kata bapak tiga anak perempuan tersebut.
Sekarang pula, Sururi mengakui amat menginginkan mengikuti pameran-pameran edukasi. Bahkan, pameran setingkat kabupaten pun, ia bersedia hadir. "Sayangnya, saya kekurangan informasi. Padahal, saya ingin kembali seperti dulu mengusai pasar Jawa Tengah," katanya yang kini mempekerjakan hanya empat hingga enam tenaga bantuan. Kini, selain Yogyakarta, Sururi mencari peluang di kota-kota sekitar Magelang. "Saya sekarang mencari pemasaran di Temanggung dan Wonosobo," katanya lagi.
Saat media meminta kartu nama, Sururi mengaku belum membuatnya. Ia hanya menunjukkan menyerahkan secarik menunjukkan secarik nota pembayaran berisi alamat dan nomor kontaknya.
Catatan menunjukkan bahwa CMA, sampai sekarang, 2015, sudah 11 kali digelar. CMA merupakan kerja sama antara Citibank melalui Divisi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) Citibank Indonesia yakni Citi Peka dari Citi Foundation dengan UKMC FEB UI. Menurut Country Corporate Affairs Head Citibank Indonesia Elvera N Makki dalam kesempatan itu, sejak 2004 hingga 2015, Citi Peka sudah menggelontorkan dana lebih dari 8 juta dollar AS. Uang sebesar itu dari Citi Foundation untuk menjalankan program kemasyarakatan dengan fokus pada pendanaan dan wirausaha miro, pengetahuan keuangan dan pengembangan aset, serta bisnis kecil dan edukasi keuangan.
Pendaftaran peserta CMA 2015 dibuka sejak Agustus 2015 hingga 30 September 2015. Kategori untuk kompetisi ini ada empat yaitu wirausaha mikro perempuan, wirausaha mikro sosial, wirausaha mikro berwawasan lingkungan, dan wirausaha mikro pelestarian budaya.
No comments:
Post a Comment