Hal ini kian menyulitkan masyarakat mendapatkan rumah yang layak huni dengan harga realistis. Menurut Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) DPD Jawa Timur Supratno, Jumat (21/8), di Surabaya, harga rumah di Surabaya melambung hingga tiga kali dari nilai jual obyek pajak (NJOP). Sekarang ini tak ada harga rumah di bawah Rp 500 juta per unit.
Itu pun untuk luas tanah maksimal 90 meter persegi dengan luas bangunan 60 meter persegi. ”Jika ingin membeli rumah di bawah Rp 500 juta harus bergeser ke Sidoarjo, Gresik, atau Mojokerto,” kata Supratno. Kenaikan harga lahan di Surabaya yang drastis terutama terjadi di area yang sedang dibangun jalan raya baru, seperti di sekitar Jalan Ahmad Yani dan Jalan Ir Soekarno-Hatta. Harga lahan di kawasan itu bisa melonjak hingga Rp 25 juta per meter persegi dalam setahun terakhir.
Bahkan, lanjut Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya Yusron Sumartono, kenaikan harga tanah itu sulit dirumuskan. Harga tanah dapat berkembang liar sesuai perkembangan pasar. Salah satu acuan yang dipakai Pemerintah Kota Surabaya untuk menentukan NJOP adalah kisaran harga penawaran tanah yang dimiliki para broker dan bisa diunduh di internet.
Hal yang sama terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta.Kelesuan pasar properti tidak hanya disebabkan kondisi makroekonomi, tetapi juga dipicu tingginya harga rumah karena kenaikan harga tanah. Direktur Utama PT Citra Kedaton, Rama Adyaksa, di Yogyakarta, menjelaskan, penurunan terutama terjadi pada rumah seharga lebih dari Rp 500 juta. Kebanyakan pembeli rumah tersebut adalah mereka yang ingin menginvestasikan uang dalam bentuk properti.
”Kebanyakan mereka tidak membeli rumah untuk ditempati sendiri, tetapi untuk investasi. Mereka ini sekarang menunda investasi dan menunggu kondisi ekonomi lebih stabil,” katanya.
Hal ini membuat orang yang mampu membeli rumah makin sedikit sehingga penjualan menurun. Di sisi lain, harga tanah yang tinggi membuat pengembang kesulitan membuat rumah dengan harga di bawah Rp 500 juta. Padahal, penjualan rumah yang stabil di Yogyakarta berada di kisaran Rp 200 juta sampai Rp 300 juta.
Ketua Apersi Kepulauan Riau Wirya Putra Silalahi mengatakan, wajar jika harga rumah di Batam tinggi. Biaya produksi untuk rumah menengah atas minimal Rp 5 juta per meter persegi. Biaya itu belum termasuk harga lahan dan biaya penyediaan fasilitas perumahan. Di Batam, harga dasar lahan rata-rata Rp 700.000 per meter persegi. Pengembang masih kerap direpotkan dengan keharusan mengosongkan lahan dari pengguna ilegal. Selain itu, dibutuhkan pula biaya untuk meratakan lahan dan membangun aneka fasilitas penunjang.
Pengembang juga direpotkan dengan perizinan yang bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan. Sebagian pengembangan akhirnya menggunakan biro jasa dengan biaya mahal untuk mempercepat perizinan. ”Pelayanan perizinan satu pintu belum bisa memangkas waktu perizinan,” ujarnya.
Meskipun demikian, ia menyatakan, harga minimal Rp 6 miliar untuk rumah mewah di Batam sudah berlebihan. Lonjakan harga rumah mewah terutama terjadi sejak kelompok pengembang besar dari Jakarta melebarkan sayap ke Batam. Para pengembang itu membuka harga jual rata-rata Rp 2,5 miliar. Pada awal 2015, harga rumah sudah menembus Rp 6 miliar.
Yayat Supriatna dalam penelitiannya untuk meraih gelar doktor bidang sosiologi di Universitas Indonesia, Juni 2014, turut mempersoalkan pengadaan perumahan bagi rakyat, khususnya kelas menengah ke bawah. ”Perlu ada kontrol intervensi dari negara. Selama ini tidak ada sanksi bagi pelanggar aturan permukiman berimbang. Negara dibutuhkan hadir, secara tegas melaksanakan aturan dan menerapkan sanksi. Di sini titik kritisnya, apakah negara bisa berperan ketika pasar telah sedemikian merajai,” kata Yayat, Jumat.
Intervensi yang sangat dibutuhkan saat ini adalah pemerintah mudah menyediakan lahan untuk membangun perumahan rakyat terjangkau. ”Makanya, saat ada rencana perubahan undang-undang pertanahan seperti sekarang, diharapkan ada aturan memudahkan, yaitu tanah-tanah negara bisa diperuntukkan bagi pembangunan rumah rakyat. Selain itu, tentu ada jaminan pemberian insentif, termasuk kepastian suku bunga,” katanya.
Kepercayaan rakyat kepada negara, khususnya terkait perumahan, tidak lepas dari sikap dan kebijakan yang tidak jelas selama ini. Awalnya, penyediaan rumah diserahkan kepada setiap pribadi. Pada tahun 1970-an, PT Perumnas dibentuk, tetapi hingga kini kiprahnya dalam memenuhi perumahan rakyat tidak menunjukkan prestasi mengesankan.
”Isu perumahan rakyat selalu diangkat dan dibahas pemerintah, tetapi pada akhirnya justru diserahkan ke pasar. Esensi inti bahwa manusia yang harus dilayani dan kepentingannya adalah nomor satu belum terealisasi dalam program pembangunan,” ujar Yayat. Meski pasar properti untuk segmen menengah ke atas turun, kata Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Syarif Burhanuddin, permintaan hunian segmen menengah ke bawah masih tetap besar.
Hal itu menarik pengembang besar untuk ikut masuk ke segmen itu. Ada kecenderungan pengembang besar, seperti Agung Podomoro, beralih membangun rumah atau hunian untuk masyarakat menengah ke bawah. Namun, jika ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, harga jualnya ditentukan oleh pemerintah. Syarif optimistis target pembangunan sejuta rumah dapat terwujud tahun ini. Menurut dia, hingga 20 Agustus, hunian baik rumah tapak maupun vertikal yang sedang dibangun mencapai 472.495 unit. Jumlah itu merupakan total rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan komersial.
No comments:
Post a Comment