Presiden Joko Widodo mengakui pemerintahannya masih belum berhasil mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang kini terjadi. Dalam pidato Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2015, ia menggaris bawahi masalah ketidakstabilan harga pangan, kesenjangan kaya dan miskin dan antarwilayah yang ada, praktik korupsi, dan penegakan hukum yang belum kokoh.
“Pemerintah akan bekerja keras untuk memerangi persoalan-persoalan tersebut,” kata Jokowi di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Jakarta, Jumat (14/8). Presiden yang baru saja merombak sejumlah menteri bidang ekonomi mengatakan bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah memusatkan perhatian untuk membangun infrastruktur seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan, waduk dan pembangkit listrik.
Sementara untuk membantu rakyat miskin, Jokowi mengatakan pemerintah mempergunakan dana subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk sektor-sektor peroduktif dan jaring pengaman sosial. “Kini pemerintah sedang membagikan Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, dan Asistensi Sosial untuk Penyandang Disabilitas Berat,” katanya.
Meskipun mengakui masih ada beberapa masalah yang mengganjal pertumbuhan ekonomi nasional, Jokowi mengklaim selama 10 bulan pemerintahannya berjalan telah berhasil menorehkan sejumlah keberhasilan. Salah satunya adalah melakukan transformasi fundamental ekonomi dan mengubah paradigma pembangunan dari yang bersifat konsumtif ke produktif.
Namun, pengamat ekonomi Yanuar Rizky melihat tidak ada yang spesial dari kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembantu Jokowi. Ia bahkan menyebut beberapa kebijakan yang diambil pemerintah tidak rasional. Semangat pemerintahan Jokowi menjadi ‘pembeda’ dari rezim sebelumnya dengan melakukan perbaikan fundamental ekonomi secara agresif dan memasang target-target ambisius dinilai Yanuar sebagai langkah yang kurang tepat di tengah kondisi eksternal maupun internal yang tengah bergolak.
"Ibarat memainkan partitur lagu dangdut dalam sebuah orchestra. Kebijakan yang diambil tidak cocok dengan keadaan yang terjadi," ujar Yanuar. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah kerap menuding gejolak ekonomi global sebagai penyebab ekonomi domestik mengalami kontraksi. Menurut Yanuar, itu merupakan fakta yang saat ini terjadi, di mana fundamental ekonomi Indonesia selama ini selalu dipengaruhi oleh permasalahan eksternal.
Namun, lanjutnya, solusi yang seharusnya diutamakan untuk diambil pemerintah adalah melakukan mitigasi risiko ketimbang menunjukkan sikap keberanian melakukan perubahan. Ia mencontohkan salah satu kebijakan yang kurang tepat waktu penerapannya adalah dengan mencabut subsidi dan membangun proyek-proyek infrastruktur.
Seharusnya, kata Yanuar, tim ekonomi Jokowi tidak tutup mata terhadap kondisi eksternal yang terjadi dengan memberikan masukan kebijakan yang mengedepankan skala prioritas kepada majikannya. "Situasi dan kondisinya berbeda dengan dulu. Jangan terjebak karena hanya ingin jadi pembeda," katanya. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015, sejumlah asumsi makro ekonomi yang ditetapkan pemerintah terbukti sampai saat ini banyak yang meleset dari target.
Pertumbuhan ekonomi yang diidamkan setinggi 5,7 persen, sampai semester I tercatat hanya mencapai 4,7 persen. Nilai tukar rupiah yang dipatok Rp 12.500 per dolar, sudah anjlok lebih dalam bahkan sempat menyentuh Rp 13.800. Kemudian harga minyak yang diharapkan bisa menyentuh US$ 60 per barel, nyatanya lebih nyaman berada di posisi US$ 50 per barel atau bahkan lebih rendah.
Akibatnya, lifting minyak yang diinstruksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said bisa mencapai 825 ribu barel per hari (bph), baru bisa direalisasikan 763.600 bph hingga 30 Juni 2015. Sementara besaran lifting gas bumi hingga semester I baru mencapai 6.587 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau sekitar 96,4 persen dari targetan yang dipatok dalam pagu APBNP 2015.
No comments:
Post a Comment