Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai kebijakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperluas objek pengenaan pajak penghasilan (PPh) pasal 23 terhadap 62 jenis jasa lain tidak sesuai dengan prinsip keadilan.
Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo mengatakan kebijakan PPh pasal 23 yang mnggunakan pendekatan tarif tunggal atas dasar penghasilan bruto justru menimbulkan ketidakadilan. Apabila mengacu pada perkiraan penghasilan netto, dia menilai seharusnya setiap jenis jasa memiliki tarif yang berbeda-beda.
"Enam puluh dua jasa dianggap margin profitnya sama, itu tidak adil," ujar Yustinus di Jakarta, Selasa (11/8). Yustinus mengakui perluasan objek PPh di sektor jasa ini bisa menambah penerimaan negara. Namun, implikasinya adalah beban administrasi wajib pajak meningkat dengan penetapan tarif PPh 23 yang dipukul rata.
“Ini akan menambah cost of compliance dan beban administrasi bagi wajib pajak. Apalagi with holding kan mengandalkan kerja pemungut bukan fiskus. Nah, seharusnya ada roadmap untuk alokasi kinerja fiskus juga,” lanjutnya. Menurutnya, perlu amandemen Undang-Undang Pajak Penghasilan pasal 23, dengan mengembalikan perkiraan penghasilan netto supaya adil. Selain itu, perlu ada kemudahan administrasi serta sosialisasi yang gencar guna meningkatkan kesadaran WP untuk menunaikan kewajibannya.
Selain itu, lanjut Yustinus, upaya pemerintah menggenjot penerimaan PPh final dinilai tidak tepat di tengah pelemahan daya beli masyarakat saat ini. "Pajak final semakin naik itu tidak sehat. Pajak final itu kan tidak ada effort, karena cuma potong-pungut saja," ujarnya.
Direktur Jenderal Pajak, Sigit Priadi Pramudito menegaskan kebijakan pajak penghasilan (PPh) pasal 23 terhadap terhadap sektor usaha jasa bukan kebijakan baru karena sudah diterapkan sejak lama. Namun, ekstensifikasi atau perluasan objek PPH 23 dinilai Sigit perlu dilakukan dengan alasan keadilan. Pernyataan Sigit tersebut merupakan penjelasan atas terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015, yang menjadikan 62 sektor jasa utama dan 120 jasa turunannya sebagai objek PPh pasal 23.
Beleid tersebut merupakan revisi atas PMK Nomor 244/PMK.03/2008, yang sebelumnya hanya memuat daftar 27 jenis jasa utama dan 60 jasaa turunannya sebagai objek PPh pasal 23. "PPh 23 itu bukan aturan baru. Itu semua objek pajak penghasilan yang memang harus dikenakan demi keadilan," ujar Sigit saat ditemui di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (11/8).
Menurut Sigit, ekstensifikasi dilakukan seiring dengan makin kompleksnya lini transaksi bisnis di sektor jasa. Semakin banyaknya jenis usaha jasa baru yang lolos dari ketentuan pajak membuat pengenaan PPh 23 menjadi tak merata dan kurang adil. "Transaksi bisnis itu sangat bervariasi, makelar mulai bertambah. Itu yang kita upayakan untuk dikenakan pajak," jelas Sigit.
Sayangnya, Sigit belum bisa memastikan berapa potensi tambahan penerimaan negara dari perluasan objek PPh 23 tersebut. Menurutnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) masih menghitung jumlah rupiah yang berpotensi menambah pundi-pundi negara. "Pasti akan ada kenaikan," katanya singkat.
Kendati dunia usaha tengah lesu akibat pergerakan ekonomi yang melambat, Sigit menilai pengenaan PPh 23 tidak akan banyak membebani pengusaha jasa. "Tidak masalah karena ini menyangkut keadilan pengenaan pajak," ujar Sigit.
Sebagai informasi, per 31 Juli 2015, penerimaan negara dari setoran PPh 23 sebesar Rp 15,84 triliun atau tumbuh 6,96 persen dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu Rp 14,84 triliun. Pertumbuhan ini dipicu oleh meningkatnya dividen dan royalti yang dibayarkan perusahaan selama tujuh bulan berjalan di tahun ini.
No comments:
Post a Comment