Thursday, August 20, 2015

Modal Jadi Pengusaha SPBU Kini Cukup Dengan Rp. 75 Juta

Jumlah SPBU di Indonesia khususnya di daerah masih sangat minim, salah satu penyebabnya karena investasi mendirikan SPBU cukup mahal. Setidaknya untuk satu unit SPBU lengkap diperlukan diperlukan dana hampir Rp 20 miliar. Untuk mendorong lebih banyak lagi jumlah SPBU, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) saat ini tengah mengusulkan regulasi yang mengatur pendirian sub SPBU dalam Peraturan BPH Migas No.6 Tahun 2015 yang mengatur pendistribusian BBM bisa dilakukan tanpa SPBU.

"Jadi nanti orang bisa bangun SPBU baru. Tapi sub saja dari distribusi SPBU resmi yang terdekat. Nanti modal antara Rp 75-100 juta sudah bisa jadi distributor BBM resmi layaknya SPBU, kalau bangun SPBU kan sampai Rp 20 miliar," kata Direktur BBM BPH Migas Hendry Ahmad di Gedung Bidakara, Jakarta, Kamis (20/8/2015).

Untuk harga BBM di sub-SPBU, kata Hendry, pemilik sub-SPBU menentukan harga minyak sesuai dengan harga yang berlaku di SPBU yang jadi pemasok, ditambah biaya margin pengangkutan BBM. "Margin pengangkutan nantinya ditentukan daerah. Bisa Rp 250/liter atau berapa tergantung kebijakan Pemdanya. Tapi harga dasar tetap mengacu pada SPBU," jelas Hendry. Menurutnya, fasilitas yang ada di sub-SPBU ini hampir sama dengan fasilitas SPBU. "Hanya lebih kecil. Ini kan selain buat menambah SPBU, terutama di luar Jawa sekaligus kesempatan bagi pengusaha kecil bermain di hilir migas," ujar Hendry.

Dia mengungkapkan, rasio SPBU di Indonesia yang rendah membuat biaya distribusi BBM sangat tinggi. Dengan jumlah penduduk saat ini, Rasio 1 SPBU di Indonesia harus melayani 60.000 penduduk. Sementara di negara tetangga 1 SPBU dipakai untuk melayani 6.000 penduduk. "Itu pun sebagian besar konsentrasinya di Jawa," tambahnya.

Hendry menuturkan, saat ini implementasi anak SPBU ini baru pilot project di 3 kota yakni Manado, Bitung, dan Bengkulu. "Nanti modalnya nggak banyak. Kalau pilot project selesai, akan diberlakukan di seluruh wilayah. Tapi syarat buat bangun sub-SPBU ini pengusaha harus punya basis pelanggan dulu. Karena ini tertutup untuk kalangan sendiri," pungkasnya.

Mandeknya program konversi bahan bakar minyak (BBG) ke bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan bermotor, membuat beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) yang sudah dibangun kini bangkrut. Investor yang sudah membangun SPBG harus menanggung kerugian hingga puluhan miliar rupiah.

"Saat itu pas saya bangun SPBG regulasi belum jelas. Gasnya disuplai dari PGN. Akhirnya karena tidak ada yang beli jadi rugi dan sekarang sudah bangkrut. Jadi prinsipnya harus serius pemerintah dalam hal konversi," kata Direktur Utama PT Sugih Energy Tbk (SUGI), Andhika Anindyaguna ditemui di Gedung Bidakara, Jakarta, Kamis (20/8/2015).

Andhika menyebut, investasi pembangunan SPBG sebesar Rp 20 miliar melayang begitu saja setelah SPBG miliknya gulung tikar 7 tahun lalu. "Nilainya Rp 20 miliar, mahal memang investasinya, kan kalau SPBG harus dibangun di pusat agar ramai, selain itu kita perlu kompresor. Makanya dulu dibangun di Kelapa Gading. Sudah margin sedikit, program konversi gagal. Akhirnya bangkrut," ujar Andhika.

Andhika menuturkan, seharusnya pemerintah serius dalam program konversi BBM ke gas untuk kendaraan bermotor. Padahal, kata Andhika, sejumlah pengusaha sudah menyatakan minatnya membangun SPBG untuk mendukung program tersebut. Direktur BBM Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Hendry Ahmad mengungkapkan tak konsistennya program konversi gas membuat pengusaha yang sudah terlanjut berinvstasi membangun SPBG harus menangung kerugian.

"Semua memang harus komitmen dilaksanakan. Contohnya dulu ada program taksi dan angkot sudah digagas pakai BBG. Sekarang hilang semua nggak ada kabar," jelas Hendry. Kegagalan konversi gas di masa lalu, sambung Hendry, membuat kepercayaan investor SPBG otomatis hilang.

"Otomatis karena nggak konsisten SPBG yang sudah terlanjur dibangun akhirnya bangkrut. Yang korban yah pengusaha sudah investasi tapi bangkrut karena nggak ada yang beli gasnya. SPBG PGN kan juga sekarang banyak yang nggak jalan. Nggak ada komitmen yang kuat," katanya.

Hendry mengungkapkan, seharusnya pemerintah berkaca pada keberhasilan India dalam program konversi gas yang dilakukan dalam satu kawasan dan cenderung dipaksakan. "Contoh India, program BBG itu dilaksanakan dalam satu kawasan, di situ semua harus pakai gas, tapi infrastrukturnya juga sudah siap. Dan itu di satu wilayah itu dipaksa. Akhirnya semua angkutan dan bajaj di sana pakai gas karena wajib pakai BBG. Memang harus ada komitmen dari pemerintah," katanya.

No comments:

Post a Comment