Friday, August 7, 2015

Pahitnya Nasib Petani Garam Di Indonesia Karena Kartel Importir Garam

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menuding praktik kartel impor garam sebagai biang keladi rontoknya usaha garam rakyat. Margin yang didapat dari setiap kilogram impor garam mencapai Rp 1.000 per kg. Dengan asumsi impor garam industri mencapai 2 juta ton per tahun, keuntungannya ditaksir mencapai Rp 2 triliun.

Tingginya keuntungan dari impor garam sungguh menggiurkan. Tak mengherankan, pengendalian impor garam hingga kini masih sulit dilakukan. Sisi ironisnya, dengan luas lautan 5,8 juta kilometer persegi, Indonesia ternyata belum juga mampu berdikari memproduksi garam sendiri. Pada 2012, swasembada garam konsumsi telah dimulai. Sementara swasembada garam industri masih menjadi pekerjaan rumah. Masalah kualitas, produktivitas, dan tata niaga menjadi persoalan besar yang membelenggu petani garam.

Penetapan harga garam petani oleh pemerintah sejak tahun 2011, yaitu kualitas satu (k1) sebesar Rp 750 per kg dan garam kualitas dua (k2) Rp 550 per kg, gagal mengangkat nasib petani. Setiap kali panen, harga garam di tingkat petani selalu anjlok di kisaran Rp 200-Rp 300 per kg. Dengan harga jual yang selalu hancur, mustahil berharap kualitas produksi bisa ditingkatkan.

Sebaliknya, harga jual garam di tingkat konsumen di pasar, tinggi. Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis, harga garam impor berkisar Rp 500 per kg, tetapi harga jual garam impor di pasaran mencapai Rp 1.250-Rp 1.500 per kg. Ada indikasi, garam petani dioplos dengan garam impor dengan biaya produksi Rp 500 per kg. Namun, saat dilepas ke pasar, harganya berkisar Rp 1.500 per kg.

Di tengah deru permainan harga garam, garam impor diduga kuat masih merembes ke pasar lokal. Pada saat petani garam seharusnya menikmati masa panen pada bulan Juli-Desember, hasil panen kembali digempur produk impor. Akibatnya, harga garam petani semakin tak tertolong.

Harapan kini ditautkan ke PT Garam (Persero), perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), untuk menyangga harga petani. Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah menggelontorkan anggaran Rp 300 miliar untuk menyangga harga dan menyerap garam petani. PT Garam juga ditugaskan membentuk konsorsium bersama dengan koperasi petani garam sebagai satu-satunya pintu untuk mengimpor garam.

Namun, pembentukan konsorsium terganjal. Direktur Utama PT Garam Usman Perdanakusuma mengakui, hampir tidak ada niat baik dari para importir garam untuk menerapkan transparansi impor dan mengendalikan impor.

Kendati impor garam ditargetkan turun menjadi 1 juta ton, tetapi hingga 30 Juni 2015, Kementerian Perdagangan telah menerbitkan izin impor garam industri sebanyak 1,5 juta ton. Industri aneka pangan masih mendapatkan kuota impor sebesar 397.000 ton. Dengan adanya impor garam industri untuk aneka pangan, dikhawatirkan ada penyalahgunaan garam yang diimpor untuk keperluan industri tersebut, menjadi garam konsumsi.

Dibutuhkan komitmen kuat dari pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mengendalikan impor garam. Namun, tetap ada syaratnya, yakni peningkatan kualitas dan produksi garam rakyat harus terus dilakukan agar tidak menimbulkan kekurangan pasokan. Garam tidak hanya penting untuk konsumsi, tetapi juga bagi industri. Tanpa garam, makanan atau masakan serasa hambar. Akan tetapi, jika impor garam kian tak terkendali, garam pun serasa "pahit" bagi petani garam

No comments:

Post a Comment