Friday, August 7, 2015

Perang Ekonomi Terbuka Antara Negara Adidaya China dan Amerika Tak Terelakkan Lagi

Menteri Keuangan Jepang Taro Aso, Jumat (7/8), mengatakan, masuknya mata uang Tiongkok renminbi atau yuan ke dalam keranjang mata uang Dana Moneter Internasional atau IMF sangat dinantikan. Namun, IMF telah mengindikasikan untuk menunda pemasukan renminbi ke dalam keranjang mata uangnya, yang disebut special drawing right (SDR).

"Saya yakin IMF melakukan penundaan itu berdasarkan penilaian obyektif," kata Aso. Masalahnya, sulit mengharapkan IMF obyektif. Tidak satu pun negara di dunia ini yang menolak yuan masuk ke dalam SDR kecuali Amerika Serikat. Namun, IMF mendadak mengumumkan indikasi penundaan pemasukan yuan ke dalam SDR, yang seharusnya pada 1 Januari 2016 menjadi 1 Oktober 2016.

"Sangat susah mengharapkan IMF yang obyektif. Lembaga moneter dunia ini ada di bawah pengaruh kuat AS," kata pengamat perdagangan valuta asing, Theo F Toemion, mantan pedagang valuta asing Bank Indonesia di London, Inggris. Theo melanjutkan, di dunia ini sekarang sudah tidak ada perang fisik dengan amunisi militer. "Yang ada perang ekonomi. Perang ini sedang terjadi antara Tiongkok dan AS," kata Theo.

"Jika masih ingat krisis ekonomi Asia yang dimulai dari krisis kurs mata uang, sasaran Barat saat itu sebenarnya adalah mata uang yuan Tiongkok. Hanya saja Tiongkok kukuh dan solid melindungi yuan," kata Theo.

Perang seperti apa dan apa yang dimaui AS terkait yuan? Dalam beberapa tahun terakhir, kurs mata uang negara berkembang dengan perekonomian yang sedang menggeliat terus bergejolak. Menurut Theo, ini tidak lain dari ulah spekulan yang ingin meraih untung dari perdagangan valuta asing milik Turki, Meksiko, Brasil, Vietnam, dan Afrika Selatan.

Ada banyak negara di dunia ini, tetapi mengapa hanya negara tersebut yang menjadi sasaran? Karena negara berkembang yang disebut di atas memiliki cadangan devisa yang bisa dipakai untuk melakukan intervensi di pasar dengan tujuan melindungi mata uang masing-masing. Namun, dalam aksi intervensi itu ada sejumlah uang yang hilang.

Permainan di valuta asing adalah zero sum game, artinya jika ada satu yang untung, maka ada pihak lain yang merugi. Cadangan devisa yang tertelan saat intervensi merupakan keuntungan bagi pihak lain. Sekitar 8.000 perusahaan hedge fund bermarkas di Inggris dan AS. Perusahaan kategori inilah yang turut bermain transaksi derivatif valuta asing. Hanya saja, banyak juga pihak lain di dunia yang turut bermain valuta asing.

Sadar akan hal ini, kata Theo, Tiongkok kukuh mempertahankan rentang kurs terendah dan tertinggi untuk yuan yang kini 6,1174 yuan per dollar AS. Dengan membatasi pergerakan kurs atas dan kurs bawah, maka kesempatan menjadikan mata uang dalam hal ini yuan sebagai ajang spekulasi menjadi sempit.

Bukan hanya itu, Tiongkok juga membatasi peredaran mata uang yuan jika bukan untuk kepentingan bisnis riil seperti perdagangan dan investasi asing langsung. Menkeu AS Jack Lew mengatakan, perlu bagi asing untuk memiliki akses dalam perdagangan yuan di dalam negara Tiongkok. Anggota Kongres AS juga turut menekan Tiongkok agar kurs yuan ditentukan pasar, bukan oleh pematokan kurs dari pemerintah.

"Negeri Tirai Bambu" ini menolak keras. Mengapa demikian? Pada 24 Maret 2015, situs CNBC menuliskan berita berjudul "Why China Won't Give Up Control Over Yuan". "Rentang kurs yuan akan dipertahankan. Jika Pemerintah Tiongkok merelakan kurs yuan bergerak bebas, Pemerintah Tiongkok akan kehilangan kendali atas kebijakan ekonomi makro," kata Kenji Yoshikawa, ekonom senior dari Mizuho Securities.

Tiongkok tentu sedang melakukan proses liberalisasi rezim kurs, tetapi itu akan dilakukan bertahap. "Konvertibilitas yuan akan terjadi, kemungkinan pada 2020 ketika Pemerintah Tiongkok menilai Shanghai telah siap menjadi salah satu pusat keuangan utama dunia," kata ahli valas senior dari ANZ, Khoon Goh. Dengan demikian, Tiongkok akan melakukan secara bertahap.

AS tidak sabar dan terus mendesak pembebasan rezim mata uang yuan. "Tiongkok itu cermat," kata Theo. Negara ini teguh dan memiliki kurs yuan yang stabil. Hal ini terbukti sangat kondusif untuk stabilitas ekonomi. Tiongkok kini menjadi negara nomor dua di dunia dari segi besaran ekonomi dilihat dari PDB nominal.

Ada banyak negara di dunia yang dibuat kerepotan karena pergerakan kurs. Tiongkok relatif aman dari hal itu. Theo mengatakan, Tiongkok cermat karena tidak mau membiarkan uangnya menjadi ajang permainan valuta asing, yang terbukti banyak digoyang untuk keperluan spekulasi. Hal ini telah merugikan beberapa negara.

Selain karena kekhawatiran akan jadi sasaran aksi spekulan, AS adalah negara yang mendambakan pasar yang bebas di semua bidang. Bagi AS, mekanisme pasar adalah raja pengatur perekonomian. Hal ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan ekonomi Tiongkok yang didasarkan pada peran pemerintah yang kuat, sebagai regulator dan pengawas. Peran pemerintah yang kuat ini diakui sangat perlu di dalam teori-teori ekonomi pembangunan.

No comments:

Post a Comment