Manajer Pengembangan Teknologi dan Produk Direktorat Gas, Energi Baru dan Terbarukan Pertamina Andianto Hidayat mengatakan pabrik pencampur avtur dengan bahan bakar nabati (BBN) baru siap beroperasi pada 2018. Rencana pembangunan pabrik menurutnya untuk menindaklanjuti kebijakan mandatori pemerintah yang mengamanatkan adanya campuran 2 persen bahan bakar berbasis kelapa sawit (crude palm oil/CPO) pada avtur.
Andianto mengungkapkan saat ini perseroan telah menyelesaikan studi kelaikan (feasibility study) pembangunan pabrik yang akan dilanjutkan dengan pemantapan rencana proyek untuk enam hingga delapan bulan mendatang. “Awal tahun depan paling baru selesai fix plan-nya kemudian untuk ground breaking pada 2017 sampai 2018 untuk pembangunan. On stream produk ditargetkan 2018,” tutur Andianto saat ditemui usai menghadiri konferensi persen The 2nd International Green Aviation Conference (IGAC) 2015 di kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Rabu (12/8).
Diakuinya, tren penurunan harga minyak saat ini membuat perseroan kembali mengkaji rencana produksi bioavtur. Pasalnya, semakin rendah harga minyak internasional memperbesar selisih harga antara bahan bakar hijau. Hal itu membuat harga bioavtur menjadi kurang kompetitif. “Harga minyak mentah kan terus turun jadi keekonomian dari pabrik ini kan harus dilihat lagi karena sekarang harga bioavturnya menjadi kurang kompetitif,” kata Andianto.
Sementara itu, Andianto tidak memungkiri dari sisi harga, bioavtur nanti akan lebih mahal dibandingkan avtur biasa. “Kalau bioavtur memang tetap aja lebih mahal (dibandingkan avtur), tapi kan itu cuma 2 persen dari harganya. Kalau misalnya nanti dihitung sekitar Rp 12 ribu per liter (harga bioavtur) kan cuma mengambil 2 persen dari itu berarti 300 persen. Cuma ada kenaikan harga di komponen avturnya Rp 300 lah,” kata Andianto.
Karena menilai pembangunan pabrik bioavtur kurang ekonomis jika harus dilakukan sendiri, Pertamina menurutnya akan menggandeng Wilmar Group untuk membangunnya. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengamankan pasokan CPO yang diperlukan untuk membuat bioavtur. “Kami akan membentuk joint venture (JV) dengan pengusaha-pengusaha kelapa sawit. Sudah ada partner yang kami gandeng kemarin sewaktu mengerjakanfeasibility study yaitu Wilmar,” tutur Andianto.
Kendati enggan menyebutkan lokasi pabrik itu berada, ia mengungkapkan investasi pabrik itu diperkirakan akan menelan sekitar US$ 450 juta - US$ 480 juta dengan kapasitas produksi nantinya sebanyak 260 juta liter bioavtur per tahun. Sejauh ini, pasar domestik diperkirakan baru bisa menyerap sekitar 10 persen dari total produksi.
Oleh karena itu Andianto berharap, apabila negara lain juga mengeluarkan kebijakan mandatori penggunaan bioavtur seperti Indonesia, pabrik bioavtur Pertamina dapat memasok negara lain. Pasalnya, pabrik yang memproduksi bioavtur saat ini belum banyak, baru ada di Amerika Serikat dan Brazil.
“Market lainnya, misalnya di kawasan Asia ini, tidak ada supplier lain yang meyediakan bioavtur. Kalau misalnya di Eropa nanti mengharuskan penggunaan bioavtur, otomatis kan mereka akan beli ke Indonesia kita akan coba suplai juga ke bandara-bandara sekitar Indonesia, bisa di bandara Kuala Lumpur (Malaysia) atau Changi (Singapura),” tutur Andianto.
Kendati enggan menyebutkan lokasi pabrik itu berada, ia mengungkapkan investasi pabrik itu diperkirakan akan menelan sekitar US$ 450 juta - US$ 480 juta dengan kapasitas produksi nantinya sebanyak 260 juta liter bioavtur per tahun. Sejauh ini, pasar domestik diperkirakan baru bisa menyerap sekitar 10 persen dari total produksi.
Oleh karena itu Andianto berharap, apabila negara lain juga mengeluarkan kebijakan mandatori penggunaan bioavtur seperti Indonesia, pabrik bioavtur Pertamina dapat memasok negara lain. Pasalnya, pabrik yang memproduksi bioavtur saat ini belum banyak, baru ada di Amerika Serikat dan Brazil.
“Market lainnya, misalnya di kawasan Asia ini, tidak ada supplier lain yang meyediakan bioavtur. Kalau misalnya di Eropa nanti mengharuskan penggunaan bioavtur, otomatis kan mereka akan beli ke Indonesia kita akan coba suplai juga ke bandara-bandara sekitar Indonesia, bisa di bandara Kuala Lumpur (Malaysia) atau Changi (Singapura),” tutur Andianto.
No comments:
Post a Comment