Bank Rakyat China (People's Bank of China/PBOC) secara mengejutkan sengaja menurunkan nilai mata uang Yuan sebesar 2 persen pada hari ini, Selasa (11/8). Devaluasi tersebut merupakan yang terbesar dalam dua dekade terakhir dan muncul tiba-tiba di tengah pertumbuhan ekonomi China yang melambat dan meningkatnya volatilitas pasar saham di Negeri Tirai Bambu.
PBOC menyatakan Yuan harus terdevaluasi sebesar 1,9 persen karena nilai titik tengahnya telah menyimpang dari titik keseimbangan pasar. Sampai saat ini PBOC memiliki kontrol atas penetapan titik tengah Yuan. "Karena China menjaga surplus perdagangan yang relatif besar, nilai efektif (Yuan) relatif kuat, yang tidak sepenuhnya konsisten dengan ekspektasi pasar," ujar perwakilan PBOC dalam keterangannya.
Kebijakan tersebut langsung direspon negatif oleh pelaku pasar seiring dengan rontoknya sejumlah bursa saham di Asia dan Eropa. Para investor khawatir akan ada pengaruh atas pelambatan ekonomi China. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi signifikan sebesar 126 poin atau 2,66 persen di level 4.622. Sementara itu, nilai tukar rupiah terkoreksi sebesar 64 poin atau 0,48 persen ke Rp13.615 per dolar AS.
Bank Indonesia (BI) meyakini dampak negatif pelemahan mata uang Yuan terhadap nilai tukar rupiah hanya akan terasa sementara. Kendati terus tertekan melewati nilai wajarnya, bank sentral menilai nilai rupiah masih cukup kompetitif untuk mendorong ekspor. "Pengaruh kebijakan di China terhadap rupiah, tidak sebesar pengaruh yang terjadi pada Singapura dollar, Korean Won, Taiwan dollar dan Thai bath," ujar Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara melalui keterangan tertulis, Selasa (11/8).
Kendati demikian, Mirza mengakui ada pengaruh kebijakan devaluasi yuan oleh bank sentral China terhadap pelemahan rupiah pada hari ini. Menurutnya, kebijakan Chin amelebarkan rentang mata uangnya (currency band) sebesar 2 persen mendapat reaksi negatif dari psar sehingga turut berimbas pada pergerakan rupiah.
"Hal itu dilakukan oleh pemerintah China untuk mengurangi pelarian modal, meningkatkan daya saing Yuan agar mendorong export, dan melindungi investor dalam negeri. Saat ini mata uang Jepang, Korea,dan Eropa, yang merupakan pesaing dagang utama China, sudah terdepresiasi cukup besar," ujar Mirza. Selain itu, lanjut Mirza, pelemahan Rupiah belakangan ini juga dipengaruhi oleh pembayaran utang dan deviden yang biasanya marak terjadi pada kuartal II setiap tahunnya.
"Kami meyakini bahwa hal ini (pelemahan yuan) akan bersifat sementara. Kami melihat bahwa saat ini Rupiah memang undervalued. Dan dari dalam negeri sendiri, saat ini kami memandang rupiah sudah cukup kompetitif terhadap export manufaktur, dan mampu mendorong turis masuk ke indonesia," tuturnya.
Menurut Mirza, BI akan terus memantau pergerakan rupiah di pasar dan siap melakukan intervensi jika sewaktu-waktu diperlukan. "Bank Indonesia akan selalu memonitor perkembangan Rupiah dan terus menerus di pasar untuk menjaga volatilitas rupiah," kata Mirza.
No comments:
Post a Comment